Dalam
demokrasi dikenal konsep Rechstaat (negara hukum). Rechtstaat (negara hukum)
diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan
prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Menurut Frederik
Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep Rechstaat adalah negara didasarkan
kepada Trias Politica (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial). Menurut Carles de Secondat Baron
de Labriede et de Montesquieu:
a.
Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang- undang;
b.
Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang- undang;
c.
Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.
Dalam
sistem ketata negaraan Indonesia pasca Amandemen ke- empat Undang- Undang dasar
1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga mempunyai hak untuk
mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam pembahasan rancangan
undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan Eksekutif
dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam
rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas
kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem
pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing
kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan
suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam
rangka mewujudkan demokrasi.
Dalam
konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif meliputi
persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden,
pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama
Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena
melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, perbuatan tercela mau pun bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi kontrol tersebut peran DPD sangat
minim, yaitu sebatas “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama”. DPD tidak berwenang secara langsung untuk menindak
lanjuti hasil pengawasan tetapi hanya sebatas menyampaikan hasil pengawasannya
itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam
menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan Yudikatif (MA dan MK), DPR
berwenang melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung dan mengajukan
tiga dari sembilan orang hakim konstitusi.
Di
Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal
pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif, Presiden
diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima
oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh
Congress dengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR)
dan Senate (semacam lembaga utusan negara bagian). Dalam Undang- Undang Dasar
1945 tidak terdapat ketentuan mengenai hak veto tersebut tetapi pembahasan
setiap rancangan undang- undang dilakukan oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Selain hak pembahasan dan persetujuan bersama, Presiden
juga diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada DPR[9].
Keterlibatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan Eksekutif dalam kegiatan
membuat undang- undang membuatnya juga memegang kekuasaan Legislatif sehingga
Presiden mempunyai kekuasaan ganda. Hal tersebut tidak konsisten dengan asas
Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Sejauh ini di negara- negara yang
menganut sistem presidensial, kekuasaan Legislatif diserahkan kepada parlemen,
sedangkan Presiden mempunyai hak veto. Diantara negara- negara tersebut hanya
konstitusi Indonesia dan Puerto Rico yang memberikan hak legislasi bersama
parlemen kepada Presiden. Sedangkan dalam fungsi kontrol tehadap kekuasaan
Yudikatif, Presiden diberikan kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan calon
hakim agung sebagai hakim agung, selain itu Presiden juga diberikan kewenangan
untuk mengajukan tiga dari sembilan orang hakim Konstitusi dan menetapkan para
hakim Konstitusi tersebut.
Dalam
rangka fungsi pengawasan kekuasaan Yudikatif terhadap kekuasaan Eksekutif, MA
diberikan kewenangan untuk menguji peraturan perundang- undangan yang
kedudukannya dibawah undang- undang terhadap undang- undang. Berdasarkan
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, bentuk- bentuk dan tata- urutan perundang- undangan meliputi:
1. Undang-
Undang Dasar (UUD) dan perubahan UUD.
2. Undang-
Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu).
3. Peraturan
Pemerintah.
4. Peraturan
Presiden.
5. Peraturan
Daerah.
Menurut
pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam praktik disamping peraturan perundang-
undangan tersebut masih banyak bentuk peraturan perundang- undangan lain
seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung,
Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan dan Keputusan Badan Pemeriksa
Keuangan, dll. Kewenangan tersebut diberikan kepada MA karena Indonesia belum
membentuk MK. Dengan dibentuknya MK sebagai “pengawal konstitusi” dan untuk memperingan
tugas MA maka sebaiknya kewenangan menguji MA diserahkan kepada MK. Hal
tersebut juga supaya semua peraturan perundang- undangan dapat diuji terhadap
undang- undang dasar sehingga dapat terwujud supremasi konstitusi.
Selain
hal tersebut, MK juga diberikan kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar.
Dalam
rangka melaksanakan konsep checks and balances yang lazim, sebaiknya Presiden
tidak boleh turut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan
rancangan undang- undang dan hak Presiden untuk mengajukan rancangan undang-
undang sebaiknya dihapus. Sebagai mekanisme kontrol terhadap Legislatif,
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan hak veto atas rancangan
undang- undang yang akan disahkan Legislatif. Perubahan tersebut wajib
dicantumkan dalam amandemen undang- undang dasar.
Selain
hal tersebut, hak uji peraturan perundang- undangan sebaiknya diberikan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga semua peraturan perundang- undangan diuji
terhadap undang- undang dasar.
No comments:
Post a Comment