Pengertian Masyarakat Sipil (civil society)
Istilah “civil society” masih menjadi perdebatan
baik secara terminologis maupun etimologis. Beberapa kalangan akademisi di Indonesia ,
menterjemahkan kata “civil society” sebagai “masyarakat madani”
(Nurcholish Madjid, 1999; Dawam Rahardjo, 1999), “masyarakat warga” (Lembaga
Etika Atmajaya, 1997), dan “masyarakat sipil” (Mansour Fakih, 1996).
Harus diakui, konsep civil society dipahami dari
perspektif yang berbeda-beda dan hal itu merupakan perkembangan yang dinamis
sesuai dengan konteks, setting, ideologi dan kepentingan setiap subjek
(INCIS, 2002). Dalam pendekatan Hegelian, penekanannya lebih pada pentingnya
kelas menengah dan pemberdayaannya, khususnya pada sektor ekonomi, bagi
pembangunan civil society yang kuat. Sementara itu dalam perspektif
Gramscian penguatan civil society sebagai alat untuk menghadapi hegemoni
ideologi negara. Civil society adalah sebuah arena tempat para
intelektual organik dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah mendukung upaya
melakukan perlawanan terhadap hegemoni negara. Dalam pendekatan Tocquevellian,
penguatan civil society lebih menekankan pada penguatan
organisasi-organisasi dan asosiasi independen dalam masyarakat dan melakukan
inkubasi budaya keadaban (civic culture) untuk membangun jiwa demokrasi.
Terlepas dari beragamnya pendekatan dalam memahami civil
society, sepertinya relevan untuk mengemukakan definisi civil society menurut Alfred Stepan
(1988) :
... arena where manifold social movement (such as
neighborhood associations, women’s groups, religious groupings, and
intellectual currents) and civic organization from all classes (such as
lawyers, journalist, trade union, and enterpreneurs) attempt to constitute
themselves in an ensemble of arrangements so that they can express themselves
and advance their interest.
Dari definisi Stepan ini, sesungguhnya secara eksplisit
mengisyaratkan bahwa civil society bukan sekedar arena di luar negara
yang berusaha untuk mengartikulasikan kepentingan mereka, tetapi juga ada
kesadaran secara horizontal dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya
dalam asosiasi dan organisasi sukarela bekerjasama dalam bingkai keteraturan (ensemble
of arrangement). Hal ini dikemukakan pula oleh AS. Hikam (1996), bahwa civil
society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan
(self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan
keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti
warganya.
No comments:
Post a Comment