Laman

Saturday, June 25, 2011

Sketsa Kehilangan

Ku ayunkan kakiku menyusuri setiap sudut desa kecil ini. Setiap lorongnya aku susuri. Tapi anak-anakku belum juga aku temukan. Padahal aku baru melahirkan mereka kemarin.
Desa ini sudah ditinggalkan. Hanya ada aku yang masih berkutat dengan pencarian anak-anakku. Kemarin orang-orang berlalu-lalang membawa harta benda, keluarga, dan tentunya anak-anak mereka. Pikiranku kembali kupusatkan pada pencarian anak-anakku. Beberapa pasang lingkaran berkilau di ujung lorong memancingku untuk berlari ke arahnya, berharap itu kilauan mata anak-anakku. Tapi bukan.
Rasanya semakin larut aku semakin sulit bernafas. Rambut-rambutku juga mulai rontok dengan sendirinya.Telingaku terus berdengung. Semoga aku tidak tuli. Tapi di sela gemuruh dan dengungan yang memenuhi telingaku, suara rintihan bocah terselip.
***
Bocah ini berjalan mengiringi langkah kakiku. Bocah ini sering tersandung karena gelap dna hampir menindihku. Aku benci itu. Ah, aku terlalu berlebihan. Bocah ini cerewet sekali, dari ceritanya aku tau bahwa bocah ini bernama Ian. Aku dan ian berjalan menjauhi gunung Merapi yang semakin marah.
Aku berhenti memanggil anak ini dengan sebutan ‘bocah’. Dia tidak seburuk yang aku ceritakan. Sekarang sudah subuh. Kami melakuki perjalanan yang cukup panjang semalam. Aku sempat berada digendongannya yang hangat. Mengingatkanku pada majikanku.
Aku menjilat beberapa bagian tubuhku, menunggu Ian yang sedang menjalankan ibadah sholat subuh. Kami menemukan surau yang hampir runtuh, namun masih layak. Aku kagum sekaligus kasihan pada anak ini. Bagaimana tidak, ia hanya anak berumur sepuluh tahun yang menyelamatkan diri dari bencana dan harus kehilangan keluarganya.
“Pus....” Aku mendongak untuh melihatnya yang berdiri di hadapanku. Tampan, tapi matanya cekung. Andai saja aku bisa menyuruhnya tidur dan beristirahat. Tapi yang keluara hanya eaonganku.
***
Aku merindukannya. Sudah satu minggu rupanya. Ya, satu minggu lalu Ian bertemu ibunya. Aku mengikuti mereka selama beberapa jam dan terpisah. Hariku benar-benar sepi. Aku lelah. Aku sudah menyerah dalam pencarian anak-anakku.
Belaian angin membuat rambutku yang pendek ini bergoyang seperti rumput yang aku lihat dihadapanku. Cukup lama aku melamun memangdang ------- eh, sepertinya mataku menangkap dua sosok sepertiku. Mirip. Dua sosok itu menggeliat di dekat kaki seorang bocah yang berjongkok membelakangiku.
***
Majikanku sudah meninggal dan jenazahnya ditemukan di temukan bersama anak-anakku. Bayi-bayi kecil yang menggeliat dalam kotak yang dibbawanya.Aku mendengar hal ini dari Ian, seorang anak kecil yang bermain dengan anak-anakku tempo hari. Anak-anakku sudah bersamaku. Begitu juga dengan Ian yang terpisah dengan ibunya.
Pagi ini Ian duduk beralaskan rumput dengan kristal beningnya. Kulihat matanya pun demikian, meneteskan kristal bening yang terkena pancaran cahaya matahari pagi. Aku duduk di sampingnya, merasakan rasa kehilangannya.
***
“Adik kenapa menangis?” tanya semorang wartawan muda sebuah surat kabar. Dapat ku ketahui dari tanda pengenal yang ia kenakan.
Ian diam saja. Dan beberapa detik berikutnya wartawan muda itu melanjutkan, “ah, atau kakak perlihatkan gambar-gambar pemandangan saja? Indah sekali dik. Sebentar ya....”
Ian  hanya mengangguk. Wartawan muda itu dengan cekatan membuka gambar-gambar koleksinya. Aku ikut menngintip dan terlonjak kaget saat Ian meneriakkan mamanya. Kontan saja wartawan muda itu ikut terkejut. Ian terus menangis dan wartawan muda itu menenangkan Ian.
“Mama, kak... Itu baju yang mama pakai,” raung Ian sambil menunjuk laptop wartawan muda itu.
Seperti tersambar petir, wartawan itu sadar dan menekan tombol untuk melihat foto yang kami lihat sebelumnya. Aha! Aku tau sekarang. Foto wanita paruh baya yang tergeletak itu adalah ibu Ian. Sudah terbujur kaku. Wajahnya tak dapat dikenali. Baju yang di kenakan sebagian besar tertutup abu, namun masih nampak cukup jelas.
***
Aku mengisi hari-hari yang Ian lalui di pengungsian. Kami terurus di sini. Dan kini anak-anakku sudah cukup besar. Ian menjadi majikan yang baik bagiku dan anak-anakku. Andai aku bisa mengasuhnya, menjadi ibunya. Tapi aku hanya seekor kucing yang luluh hatinya karena manusia. Semua anak dan cucuku, serta keturunanku akan menemani Ian melanjutkan perjalanannya, aku berjanji. Aku mulai dengan menitipkan anak-anakku pada Ian dan aku yakin mereka akan bersama. Karena mungkin aku akan pergi besok.

No comments:

Post a Comment