Laman

Wednesday, November 28, 2012

Perubahan Sosial Di Abad Ke 20


Perubahan Sosial Di Abad Ke 20
            Berakhirnya Perang Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Selatan dimana mayoritas masyarakat hidup. Akibatnya, muncul berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara yang diberi berbagai julukan seperti ”Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga”, ”Negara-negara Terkebelakang”, ”Negara-negara Sedang Berkembang”, atau ”Negara-negara Selatan”.
            Gidden mengemukakan bahwa proses peningkatan kesalingtergantungan masyarakat dunia yang dinamakannya globalisasi ditandai oleh kesenjangan besar antara kekayaan dan tingkat hidup masyarakat industri dan masyarakat Dunia Ketiga. Selain itu ia mencatat tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri baru, dan semakin meningkatnya komunikasi antar negara sebagai dampak teknologi komunikasi yang semakin canggih.

Teori perubahan sosial pada abad 20 yang terkenal adalah:
1.   Teori Modernisasi
Teori Modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi. Teori ini berpandangan bahwa masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap ”tinggal landas” ke arah perkembangan ekonomi. Menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni transisi dari keadaan tradisional ke modernitas melibatkan revolusi demografi yang ditandai menurunnya angka kematian dan angka kelahiran; menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga; terbukanya sistim stratifikasi; peralihan dari stuktur feodal atau kesukuan ke suatu birokrasi; menurunnya pengaruh agama; beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunikasi ke sistem pendidikan formal; munculnya kebudayaan massa; dan munculnya perekonomian pasar dan industrialisasi.
2.   Teori Ketergantungan
      Menurut teori ketergantungan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman negara Amerika Latin bahwa perkembangan dunia tidak merata; negara-negara industri menduduki posisi dominan sedangkan negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomi tergantung padanya. Perkembangan negara-negara industri dan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga, menurut teori ini, berjalan bersamaan: di kala negara-negara industri mengalami perkembangan, maka negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kolonialisme, khususnya di Amerika Lain, tidak mengalami ”tinggal landas” tetapi justru menjadi semakin terkebelakang.
3.   Teori Sistem Dunia
      Teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein mengatakan bahwa perekonomian kapitalis dunia tersusun atas tiga jenjang: negara-negara inti, negara-negara semi-periferi, dan negara-negara periferi. Negara-negara inti terdiri atas negara-negara Eropa Barat yang sejak abad 16 mengawali proses industrialisasi dan berkembang pesat, sedangkan negara-negara semi- periferi merupakan negara-negara di Eropa Selatan yang menjalin hubungan dagang dengan negara-negara inti dan secara ekonomis tidak berkembang. Negara-negara periferi merupakan kawasan Asia dan Afrika yang semula merupakan kawasan ekstern karena berada di luar jaringan perdagangan negara-negara inti tetapi kemudian melalui kolonisasi ditarik ke dalam sistem dunia. Kini negara-negara inti (yang kemudian mencakup pula Amerika Serikat dan Jepang) mendominasi sistem dunia sehingga mampu memanfaatkan sumberdaya negara lain untuk kepentingan mereka sendiri, sedangkan kesenjangan yang berkembang antara negara-negara inti dengan negara-negara lain sudah sedemikian lebarnya sehingga tidak mungkin tersusul lagi.

PERUBAHAN SOSIAL DI ASIA TENGGARA

            Kemajemukan masyarakat di Asia Tenggara telah memunculkan berbagai konsep dan teori yang dilandaskan pada pengalaman khas berbagai masyarakat Asia. Hans-Dieter Evers menyunting berbagai tulisan dan merangkumnya menjadi konsep dual societies, plural societies dan involution.


Dual Societies
            Menurut Bocke dalam masyarakat Timur, kapitalisme bersifat merusak – ikatan-ikatan komunis melemah, dan taraf hidup masyarakat menurun – karena telah mengakibatkan terjadinya ekonomi dualistis. Dalam masyarakat dualistis dijumpai sejumlah antitesis, yaitu pertentangan antara (1) faktor produksi pada masyarakat Barat yang bersifat dinamis dan masyarakat pribumi di pedesaan yang bersifat statis, (2) masyarakat perkotaan (orang Barat) dengan masyarakat pedesaan (orang Timur), (3) ekonomi uang dan ekonomi barang, (4) sentralisasi administrasi dan lokalisasi, (5) kehidupan yang didominasi mesin (masyarakat Barat) dan didominasi kekuatan alam (masyarakat Timur), dan (6) perekonomian produsen dan perekonomian konsumen.
            Menurut Evers, ciri dualistis adalah adanya masyarakat yang terkebelakang yang hidup berdampingan dengan masyarakat maju.

Plural Societies
            Furnivall memberikan contoh pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur, namun menurutnya kelompok Eropa, Cina dan pribumi saling melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana dipisahkan.
            Menurut Evers konsep ini bisa dikembangkan dan diuji pada masyarakat lain.

Involution
            Menurut Geertz pengaruh kapitalisme Barat terhadap masyarakat pedesaan di Jawa tidak menghasilkan perubahan secara evolusioner, melainkan suatu proses yang dinamakan involusi. Penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di Jawa membawa kemakmuran di Barat tetapi mengakibatkan suatu proses ”tinggal landas” berupa peningkatan jumlah penduduk pedesaan. Ternyata kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yaitu suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima bagian dari panen meskipun bagiannya memang menjadi semakin mengecil.
            Konsep Geertz ini banyak digunakan oleh ilmuwan sosial lain. Armstrong dan Terry McGee mengaitkan konsep involusi dengan sistem pasar di daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974) lebih mengaitkan konsep involusi dengan perubahan struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk bertambah, namun kurang terjadi diferensiasi sosial.




POLA PERUBAHAN SOSIAL


Pola Perubahan Sosial

Pola Linier
            Menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni (1973) perkembangan masyarakat mengikuti suatu pola yang pasti. Contoh yang diberikan Etzioni-Halevy dan Etzioni adalah karya Comte dan Spencer yang menyatakan bahwa kemajuan progresif peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tak terelakkan.
            Teori ”Hukum Tiga Tahap” yang dikemukakan Comte menyatakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. Pada tahap pertama yang diberinya nama tahap Teologis dan Militer, Comte melihat bahwa semua hubungan sosial bersifat militer; masyarakat senantiasa bertujuan menundukkan masyarakat lain. Semua konsepsi teoritis dilandaskan pada pemikiran mengenai kekuatan-kekuatan adikodrati. Pengamatan dituntun oleh imajinasi; penelitian tidak dibenarkan.

            Tahap ke dua, tahap Metafisik dan Yuridis, merupakan tahap antara yang menjembatani masyarakat militer dengan masyarakat industri. Pengamatan masih dikuasai imajinasi tetapi lambat laun semakin merubahnya dan menjadi dasar bagi penelitian.
            Pada tahap ke tiga dan terakhir, tahap Ilmu Pengetahuan dan Industri, industri mendominasi hubungan sosial dan produksi menjadi tujuan utama masyarakat. Imajinasi telah digeser oleh pengamatan dan konsepsi-konsepsi teoritis telah bersifat positif.

            Dari apa yang telah dikemukakan Comte tersebut—perubahan yang pasti, serupa, tak terelakkan, dapat kita lihat bahwa pandangannya mengenai perubahan sosial bersifat unilinear.
            Pemikiran uniliniear kita jumpai pula dalam karya Spencer. Spencer mengemukakan bahwa struktur sosial berkembang secara evolusioner dari struktur yang homogen menjadi heterogen. Perubahan struktur berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Suku yang sederhana bergerak maju secara evolusioner ke arah ukuran lebih besar, keterpaduan, kemajemukan, dan kepastian sehingga terjelma suatu bangsa yang beradab.

Pola Siklus
            Pola Siklus menekankan bahwa masyarakat berkembang bagai roda: kadang di atas, kadang di bawah. Pandangan Etzioni-Halevy dan Etzioni memandang bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang dan kemudian lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan seorang manusia – melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah -.
            Pareto mengemukakan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat dua lapisan. Lapisan bawah atau non-elite dan lapisan atas atau elite, yang terdiri atas kaum aristokrasi dan terbagi lagi dalam dua kelas: elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa. Menurut Pareto aristokrasi senantiasa akan mengalami transformasi; sejarah menunjukkan bahwa aristokrasi hanya dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhirnya akan pudar untuk selanjutnya diganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari lapisan bawah. Sejarah, menurut Pareto, merupakan tempat pemakaman bagi aristokrasi. Aristokrasi yang menempuh segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan akhirnya akan digulingkan melalui gerakan dengan disertai kekerasan atau revolusi.  Pareto mengacu pada pengalaman kaum aristokrasi di Yunani, Romawi dan sebagainya.

Gabungan dari beberapa pola
            Beberapa ahli melakukan penggabungan pola yang ada. Etzioni-Halevy dan Etzioni memberikan contoh tentang teori konflik Karl Marx. Pandangan Karl Marx menyatakan bahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan terus- menerus antara kelas-kelas dalam masyarakat sebenarnya mengandung benih pandangan siklus karena setelah suatu kelas berhasil menguasai kelas lain menurutnya siklus serupa akan berulang lagi. Ramalannya mengenai masyarakat komunis pun mengandung pemikiran siklis, karena masyarakat komunis yang didambakan Marx merupakan masyarakat yang menurut Marx pernah ada sebelum adanya feodalisme dan kapitalisme – masyarakat yang tidak mengenal pembagian kerja, yang di dalamnya konflik diganti dengan kerjasama. Namun dalam pemikiran Marx kita pun menjumpai pemikiran linear: menurutnya perkembangan pesat kapitalisme akan memicu konflik antara kaum buruh dengan kaum borjuis yang akan dimenangkan kaum buruh yang kemudian akan membentuk masyarakat komunis. Pandangan Marx mengenai perkembangan linear pun tercermin dari pandangannya bahwa negara jajahan Barat pun akan melalui proses yang telah dialami masyarakat Barat.
            Etzioni-Halevy dan Etzioni memberi contoh lain pemikiran Max Weber yang dinilai mengandung pemikiran siklus yaitu pembedaannya antara tiga jenis wewenang: karismatis, rasional-legal dan tradisional. Weber melihat bahwa wewenang yang ada dalam masyarakat akan beralih-alih: wewenang kharismatis akan mengalami rutinitas sehingga beralih menjadi wewenang tradisional atau rasio-legal; kemudian akan muncul lagi wewenang kharismatis, yang diikuti dengan rutinisasi; dan seterusnya. Di lain pihak, Weber pun melihat adanya perkembangan linear dalam masyarakat, yaitu semakin meningkatnya rasionalitas.

PERUBAHAN SOSIAL

Dalam hidup bermasyarakat, dinamika masyarakat selalu terjadi, Salah satu bentuk dinamika masyarakat adalah perubahan sosial. Norma dijadikan sebagai pedoman perilaku. Akan tetapi, orang tidak dapat terus-menerus berpedoman pada satu norma saja. Pertama, individu itu dinamis (cenderung berkembang dan berubah), antara lain karena bertambahnya usia, semakin tingginya pendidikan, bertambahnya pengalaman, dan adanya peristiwa-peristiwa traumatik atau yang memuaskan. Kedua, lingkunganpun berubah (dengan ditemukannya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin canggihnya sarana komunikasi, dan lain-lain). Misal, dulu belum ada keluarga berencana, telepon genggam dan faksimil, televisi, pesawat terbang, dan wanita yang bersekolah sekarang semuanya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Salah satu penelitian mengenai perubahan norma mengungkapkan bahwa dulu masalah khitan tidak pernah dipersoalkan, tetapi sekarang diperdebatkan dari sudut agama, kesehatan, hak asasi anak, dan sebagainya (Aldeeb, 1994). Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa lulusan wanita dari Radcliff College, AS, angkatan 1964 lebih meragukan peran wanita dalam perkawinan daripada lulusan wanita angkatan 1947 dari college yang sama (Stewart & Ostrove, 1993). Dalam kehidupan sehari-hari perubahan norma dapat kita lihat, misalnya dalam peningkatan usia perkawinan, hubungan pria-wanita yang lebih longgar dan semakin serba boleh, kecepatan maksimum kendaraan di jalan raya (dulu 60 km, sekarang 100 km), semakin banyaknya jabatan yang dapat diisi oleh wanita, dan berbagai perubahan peraturan dalam tata-niaga, perbankan dan perekonomian, perubahan peraturan pemakaian radio amatir. Perubahan-perubahan norma itu, yang semula berawal dari perubahan individu, pada gilirannya juga berpengaruh kembali pada perubahan individu itu sendiri. Jadi, perubahan sosial pada hakikatnya adalah kombinasi antara perubahan individu dan perubahan norma. Pendapat dan temuan para pakar mengenai hubungan antara perubahan individu dan perubahan sosial ini antara lain sebagai berikut: 1. Menurut Smelser & Smelser (1990), perubahan sosial terjadi di berbagai tingkat, mulai dari tingkat pribadi, tingkat keluarga, lingkungan kecil sampai bangsa dan dunia. Tiap tahap ditandai oleh interaksi antara perubahan pribadi dan perubahan lingkungan. Kita harus mempelajari keduanya dan interaksi antar keduanya untuk dapat memperkenalkan perubahan sosial. Misalnya, wanita mengusahakan peningkatan derajat melalui berbagai proses dan kelompok. Mulai dari usaha pribadi (melarikan diri dari rumah, bersekolah, dan sebagainya), melibatkan wanita-wanita lain (organisasi wanita), sampai melibatkan organisasi-organisasi sosial, politik, keagamaan, pendidikan, organisasi campuran laki-perempuan, dan sebagainya (Mome, 1991). 2. Ibu-ibu muslim di Inggris, walaupun mereka sendiri tidak sempat mengecap pendidikan tinggi, mengusahakan agar anak-anak perempuan mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari mereka sendiri (Osler & Hussain,1995). 3. Di Ghana (Afrika), Islam merupakan jembatan dari pengobatan tradisional ke pengobatan modern (Barat) karena masyarakat mengidentifikasikan diri pada Islam dan Islam memperkenalkan pengobatan modern (Kirby, 1993). 4. Keluarga-keluarga muslim di Malaysia, berada dalam konflik antara nilai-nilai adat, Islam, Cina, India, dan Eropa di lingkungan mereka sendiri (Kling, 1995). 5. Dalam keadaan ragu atau kehilangan pedoman atau identitas diri diperlukan discounting, yaitu pengabaian ciri-ciri kelompok walaupun masih mempertahankan identitas kelompoknya melalui hal-hal berikut: a. Paksaan: misalnya harus tetap Islam walaupun ikut KB (pada masyarakat tertentu ciri Islam adalah tidak setuju KB). b. Pengecualian: dalam keadaan darurat boleh dilakukan sesuatu yang lazimnya dilarang, misalnya boleh ber-KB karena keadaan darurat walaupun Islam tetap melarangnya. c. Pengingkaran (denial): mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadis untuk membuktikan bahwa Islam pro-KB, tidak anti-KB. d. Penyembunyian (concealment): menyembunyikan hal-hal yang mendukung bahwa Islam anti-KB. 6. Dalam proses perubahan ini diperlukan pemimpin yang kuat untuk mempertahankan integrasi kelompok selama masa peralihan (Pestello, 1991). Di pihak lain, pemimpin yang kuat tidak berarti pemimpin yang terlalu ketat, kaku, dan otoriter. Kendali yang terlalu kuat dari pemimpin dalam menghadapi perubahan sosial dapat menyebabkan anggota kelompok berontak seperti yang terjadi pada anak-anak remaja yang memberontak pada orang tuanya yang terlalu keras (Franklin & Steeter, 1992). 7. Prinsip untuk menjaga keutuhan dan stabilitas kelompok untuk jangka panjang dalam menghadapi perubahan sosial dan perubahan norma-norma yang terlalu cepat adalah harus selalu terbuka untuk negosiasi dengan anggota-anggota kelompok. Pendekatan yang terlalu menekankan pada nostalgia dan tradisional (upacara, ritual, kebiasaan, kenang-kenangan, dan lain-lain) harus diimbangi dengan pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memilih alternatifnya sendiri (Settees, 1993).

DEFINISI SEHAT DAN SAKIT


A.    Definisi Sehat dari Berbagai Sudut Pandang
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradap -tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya. Berikut ini adalah berbagai sudut pandang yang mendefinisikan konsep sehat:

1.      Definisi Sehat Menurut WHO
Menurut WHO (1947), sehat  dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang po­sitif (Edelman dan Mandle. 1994):
a.       Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.
b.      Memandang sehat dengan mengidentifikasi ling­kungan internal dan eksternal.
c.       Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.


2.      Definisi Sehat Menurut Para Ahli
a.        Neuman
Sehat adalah suatu keseimbangan biopsiko – sosio – cultural dan spiritual pada tiga garis pertahanan klien yaitu fleksibel, normal dan resisten.
b.       Pender (1982)
Sehat adalah perwujudan individu yang diperoleh melalui kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain (Aktualisasi). Perilaku yang sesuai dengan tujuan, perawatan diri yang kompeten sedangkan penyesesuaian diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan integritas struktural.
c.        Paune (1983)
Sehat adalah fungsi efektif dari sumber-sumber perawatan diri (self care Resouces) yang menjamin tindakan untuk perawatan diri ( self care actions) secara adekual. Self care Resoureces : mencangkup pengetahuan, keterampilan dan sikap. Self care actions adalah perilaku yang sesuai dengan tujuan diperlukan untuk memperoleh, mempertahan kan dan menigkatkan fungsi psicososial dan spiritual.

3.      Definisi Sehat Menurut Undang-Undang No.23 tahun 1992
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.

4.      Definisi sehat secara umum.
Sehat merupakan sebuah keadaan yang sempurna dari seorang manusia, dimana tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial, mental dan spiritual yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis

B.      Definisi Sakit dari Berbagai Sudut Pandang

1.      Definisi Sakit Menurut UU No. 23 Tahun 1992
Seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis) atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja atau kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit, istilah masuk angin , pilek tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya maka ia dianggap tidak sakit.

2.      Definisi Sakit Menurut Ahli
a.       Parson (1972)
Sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas, termasuk keadaan organisme sebagai system biologis dan penyesuaian sosialnya.
b.      Bauman (1965)
Seseorang menggunakan tiga kriteria untuk menentukan apakah mereka sakit :
·         Adanya gejala : naiknya temperature, nyeri.
·         Persepsi tentang bagaimana mereka merasakan : baik, buruk, sakit.
·         Kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari : bekerja, sekolah.

3.      Definisi Sakit Secara Umum
Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran berupa gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas yang menyebabkan ketidaknyamanan disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya yang menyebabkan aktivitas kerja atau kegiatannya terganggu.


STATISTIKA DISKRIPTIF

PENGERTIAN STATISTIK DESKRIPTIF
.     Arti dan Kegunaan Data
Mengamati kehidupan sehari-hari dari seseorang/individu dapat dikumpulkan informasi mengenai berbagai hal tentang individu tersebut, misalnya: besarnya pendapatan perbulan, besarnya pengeluaran untuk makanan, minuman, sandang, perumahan dan lainnya perbulan. Begitu juga dalam sebuah rumah tangga, selain informasi tersebut di atas, informasi lainnya yang dapat dikumpulkan adalah antara lain: jumlah anak yang dimiliki, jumlah anggota rumah tangga seluruhnya, pendidikan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga lainnya, status kepemilikan rumah/tempat tinggal, jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki dan lain sebagainya.
Dalam skala besar, mengumpulkan informasi seperti tersebut di atas dari seluruhrumah tangga yang ada di negara ini juga dapat dilakukan. Dari hasil pengumpulan data ini dapat diketahui antara lain mengenai: jumlah penduduk seluruhnya, jumlah penduduk menurut propinsi, jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan, jumlah rumah tangga, dan sebagainya. Data ini dapat dipakai sebagai acuan/dasar bagi pemerintah atau lembaga lainnya untuk merencanakan suatu program, mendapatkan solusi dari suatu permasalahan, mengambil suatu keputusan, dilakukan suatu kebijakan, dan sebagainya. Data yang dikumpulkan dapat dilakukan di berbagai bidang misalnya: perdagangan, perindustrian, kependudukan, sosial, jasa, pertanian, keuangan, pendidikan, dan sebagainya.
Statistik Deskriptip:
-    mengumpulkan data/informasi;
-    mengolah data hasil pengumpulan;
-    menyajikan data hasil pengolahan;
-    menganalisis data.

     Tipe Skala Pengukuran Data
a.    Skala Nominal
    Ada 2 atau lebih spesifikasi
    Contoh:    -     Laki-laki ; Perempuan
-    Gemuk ; kurus
-    Besar ; sedang ; kecil
-    Baik ; sedang ; buruk
b.    Skala Ordinal
    Data yang diukur mempunyai urutan kualitas
    Contoh:    -     ranking 1 ; ranking 2 ; ranking 3
-    Jenderal ; Brigjen ; Letjen
-    Gol IV ; Gol III ; Gol II ; Gol I
c.    Skala Interval
Contoh:    ukuran temperatur udara 00 Fahrenheit = - 180 Celcius
        00 Fahrenheit bukan berarti tidak ada temperatur
d.    Skala Ratio
Contoh: mengukur panjang, lebar, berat, tinggi, isi, dan sebagainya.

.     Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan Data
a.    Sensus
Mengumpulkan data dari seluruh obyek pengamatan/populasi.
b.    Survei
Mengumpulkan data dari sebagian obyek pengamatan/sebagian dari populasi.
Sebagian dari populasi = sampel
c.    Eksperimen
d.    Studi Kasus