Laman

Saturday, June 25, 2011

Malam Tertatih

Suara derap langkah orang yang membuka pintu membuatku terbangun. Cahaya temaran lampu lima watt teras menerangi sosok tersebut. Membantu mataku untuk lebih jelas melihatnya. Sudah ku duga, itu adalah sosok majikanku. Aku beranjak, menggeliat, dan mengendus kakinya. Membuatnya berjongkok dan menggendongku sebelum akhirnya masuk. Kami hanya berdua di sini. Di rumah kontrakan kecil yang hanya punya satu kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan dapur. Halaman belakang merupakan tempat kesukaanku. Tempatku mengejar capung dan kadang memakan rumput. Rumput di pagi hari selalu membuatku bersin karena kristalnya yang bening.
Malam ini aku tidur di dalam rumah. Biasanya aku lebih memilih mencari tikus di gorong-gorong. Malam yang dingin ini membuatku memilih meringkuk di kaki majikanku. Denyut nadinya yang berirama dengan detak jantungku membuatku nyaman.
Sial, cicitan tikus itu mengganggu tidurku. Merangsang cacing di perutku untuk bernyanyi. Aku menggeliat dan melompat turun. Ku endus salah satu tangan majikanku yang jatuh dari tempat tidur. Lengannya yang terkulai mulai banyak bekas sayatan. Dari yang kecil, kira-kira dua cm, hingga yang hampir melingkari lengannya. Apakah itu aib bagi manusia? Sehingga majikanku selalu memakai baju berlengan  panjang.
Sudahlah, tikus buruanku sudah terdengar menjauh. Aku berlari kesana kemari dan hanya mendapat kelelahan. Ruangan ini gelap karena lampu yang telah padam. Namun tetap saja aku bisa melihat dengan jelas.
Beruntung sekali aku diciptakan sebagai kucing, bukan tikus yang hanya akan dikejar-kejar kucing atau manusia yang suka menyayat kulitnya.
Majikanku berubah sejak pria yang hendak ku putuskan urat kakinya itu datang kerumah.  Mereka tampak sangat jelas merahasiakan sesuatu. Bagaimana tidak, pria itu menyuruh majikan untuk mengeluarkanku dan mengunci rumah, seolah aku akan berlari ke alun-alun kota dan berteriak membeberkan pembicaraan mereka. Yang benar saja, aku hanya seekor kucing. Hal itu membuat tersinggung. Aku memang kucing kampung, tapi aku punya harga diri dan kewajiban melindungi majikanku.
Majikanku sering mengupat sambil menelan beberapa pil. Pil yang diberikan pria tidak ramah pada malam itu  mungkinkah pria itu dokter? Sepertinya tidak.
Sudah 2 hari ini majikan mengacuhkanku dan tidak  memberiku makan. Mungkin sedang banyak tugas di sekolahnya. Repotnya menjadi manusia yang harus belajar setiap hari. Atau mungkin uangnya sudah habis. Yah, namanya saja anak rantau. Tidak bisa mengatur pengeluaran, salah-salah malah kehabisan uang. Tapi aku maklum saja. Asalkan aku masih bisa merasakan denyut nadi di kakinya yang berirama dan tidur dekat tubuhnya yang hangat.
Sore ini hujan lebat. Aku sedang mengamati air hujan yang menusuk, merembes ke dalam tanah. Apakah akan merasakan sakit bila menjadi tanah yang dihujam jutaan tetes air hujan?
Majikanku sedang tidur di sofa. Sebenarnya sofa kami hanya berupa kursi panjang dari kayu dan dilapisi tumpukan kain oleh majikanku.
Tetes air hujan menghipnotisku hingga tak sadarkan diri. Aku terbangun saat mendengar teriakan dari dalam rumah. Suara teriakannya aneh. Tak lain dan tak bukan adalah majikanku. Aku buru-buru berlari masuk tanpa sempat menggeliat seperti ritual bangun tidurku biasanya. Kudapati majikanku berjongkok di atas sofa sambil memegang sapu. Lagaknya seperti pemancing hebat. Begitu aku mencoba mendekat, ia berteriak melarangku untuk mendekat. Dan kau tahu alasannya? Sangat konyol. Yang ada dipikirannya, lantai tempatku berpijak merupakan lautan. Dan ia adalah pemancingnya. Memancing ikan hiu. Sebenarnya ada apa dengan manusia ini?
Malam ini majikanku pulang membawa ikan bandeng segar untukku. Aku nebghabiskan kepalanya dan menyimpan sisanya untuk nanti. Rupanya majikanku sudah punya rezeki. Setelah kenyang dan selesai menjilati beberapa bagian tubuhku, aku memanjat sofa  dan merapat ke kaki majikanku yang sudah tidur sejak pulang tadi. Meringkuk di kakinya selalu membuatku nyaman. Baru beberapa detik ku sandarkan kepalaku pada kakinya, rasa hangat itu kian hilang. Ku dengarkan dengan seksama denyut di kakinya. Samar sekali. Bahkan sebenarnya hanya detak jantungku yang terdengan. Tidak ada irama. Yang ada hanya dingin yang mencekam.
   

No comments:

Post a Comment