Laman

Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Wednesday, December 26, 2012

INDONESIAKU


INDONESIAKU




Biar saja ku tak sehebat matahari tapi slaluku coba tuk menghangatkanmu. Biar saja ku tak setegar batu karang, tapi selalu ku coba tuk melindungimu.” Itulah mottoku yang akan selalu kupegang sebagai panduan hidup untuk membanggakan negaraku, Negara Indonesia. Motto itu sering kugunakan untuk memacu semangatku saat waktu latihan untuk kompetisi boxing. Namaku adalah Pandu Prostar, aku sekolah di SMA School Before University. Sekolahku ini adalah sekolah bertaraf internasional dan termasuk sekolah favorit di wilayahku. Walaupun aku tidak berprestasi di bidang akademik tetapi aku telah mengahumkan nama sekolah beberapa kali dalam turnamen boxing kebanggaanku ini.
Seperti biasa aku bergegas berlari menuju ke sekolah, jam arloji yang berada di tanganku sudah menunjukan pukul 06.55. Aku terus berpikir kenapa aku selalu bangun kesiangan padahal alarm di hpku sudah ku aktivkan. Sesampai di sekolah, halaman sekolah sudah sepi yang menandakan kelas sudah dimulai. Aku berlari menuju ke kelas sambil berharap bahwa guruku belum datang ke ruang kelas. Saat didepan kelas aku langsung masuk karena ku mengira bahwa guru belum masuk kelas. Ternyata Pak Sureboningrat guru Bahasa Jawa sudah masuk ke kelas. Sambil malu aku maju kekelas menemui Pak Rebo untuk meminta maaf, untungnya aku dimaafkan dan langsung disuruh duduk. Aku langsung saja duduk di tempat biasa.
“Hei, kamu selamat kali ini, untung gurunya Pak Rebo” Rifad
Suara uitu mengagetkanku, karena yang ku tahu sahabat ku yang bernama Rifad ini sedang berada di Jakarta untuk mengikuti kompetisi OSN Matematika tingkat nasional. Temanku yang satu ini memang pintar, dia sangat unggul dibidang akademik daripada teman temannya yang lain.
“Kamu dah balik fad? Gimana lombanya?”
“Ayo main tebak tebakan, aku menang nggak?
“Sepertinya sih menang, ekspresimu aja kaya gitu.”
“Bener”
Sudah tidak mengejutkan lagi Rifad memenangkan lomba OSN tersebut, kepintaraanya sudah menyebar ke berbagai daerah. Dan juga dia memiliki motto yang hampir sama denganku yaitu” Biar saja ku tak seharum bunga mawar, tapi slalu kucoba tuk mengharumkanmu. Biar saja ku tak seelok langit sore, tapi slalu kucoba tuk mengindahkanmu” Motto itulah yang selalu membuat Rifad bersemangat untuk memenangkan lomba agar dia bisa mengharumkan nama Bangsa Indonesia di kanca internasional. Ia juga ingin memperindah nama Indonesia di telinga orang orang asing.
Jam pelajaran pun berakhir, bel sekolah menandakan kemenangan sebagian siswa berkumandang dengan indahnya. Aku dan Rifad keluar dari gerbang sekolah sambil bercakap cakap.
“Habis ini mau kemana kau fad?”
“Habis ini aku mau pulang ganti baju terus balik ke sekolah lagi untuk pelatihan Olimpiade tingkat Internasional.”
“Ha? Udah mau lomba lagi kamu? Apa nggak capek?”
“Mau nggak mau harus gini, lombanya tinggal 1 bulan lagi.”
“Satu bulan lagi? Itu hampir bersamaan dengan kompetisi internasional boxing”
“Kalau begitu bagus, kita bisa berjuang bersama demi Indonesia”
Akhirnya kita saling berpisah di perempatan jalan. Setelah pulang aku dan Rifad masing masing menuju ke tempat latihan. Rifad pergi ke sekolah kembali sedangkan aku menuju ke tempat latihan boxing.
Keesokan harinya di halaman sekolah, “ Hei, kalian jangan berkelahi, disini bukan tempat untuk berkelahi, jika ingin berkelahi carilah tempat lain jangan di sekolah” kata Rifad, mencoba untuk melerai perkelahian antara ku dan Steven.
“ Dia dulu yang ngajek berantem, bisa bisanya dia bilang kalau solo itu seperti cow, bagaimana aku nggak marah?” kataku
“ Apa benar begitu eee…?” Tanya Rifad
            “ Steve namaku Steve, I’m Australian. Aku di transfer from my country yesterday. And I did not say that solo is cow but I said that solo is crowded” Jelas Steven
              Kamu gimana sih Ndu? dia bilang crowded (ramai) bukan cow (sapi)” Rifad menjelaskan apa yang dikatakan oleh Steve.
            “ Maaf aku kan nggak semahir kamu dalam bahasa inggris, aku kan mahirnya dibidang bela diri boxing” kataku.
            “ kamu said boxing? I can boxing too”
            Bunyi bel tanda masuk berbunyi, Rifad dan aku pergi bersama ke kelas sedangkan Steve sendirian tertinggal dibelakang kami. Kami  saling beercanda gurau sambil berjalan menuju ke kelas kami yaitu kelas XI-12. Setibanya di kelas kami menuju ke bangku kami masing masing yang memang bersebelahan.
            “ Jam pertama ini apa?” Tanyaku
            “ Bahasa Inggris, hari ini ulangan lho. Kamu dah…”
            “ Apa? Ulangan? Aduuuh… aku belum belajar sama sekali, gimana nih? Aku nyontek kamu ya Fad” kataku kaget dan memohon
            “ Enak aja, aku susah susah belajar. Enaknya kamu minta dicontekin, berdoa aja soalnya gampang semua.” Kata Rifad tak mau membantu.
            “ Kamu kok gitu…”
            “ Eh, gurunya datang”
            Guru bahasa inggris yang terkenal killer ini bernama Bu Jandayani. Setelah masuk ke kelas, dia menyuruh ketua kelas untuk memimpin teman temannya untu berdoa. Kemudian ketua kelas menyiapkan dan memimpin doa. Setelah itu ketua kelas mengakhiri doa dan kembali duduk. Bu Jandayani si guru killer pun duduk ditempatnya.
            “ Anak anak, kalian ingatkan apa yang ibu katakan pada pelajaran sebelumnya bahwa hari ini kita akan ulangan?” kata Bu Jandayani dengan sok lembut
            “ Enggak bu, ibu nggak pernah bilang” Semua siswa serempak menjawab
            “ HARI INI HARUS ULANGAN!” bentak Bu Jandayani sambil memukulkan penggaris di meja.
            Semua siswa terdiam
            “ Tetapi sebelum itu, kalian akan mendapatkan teman baru”
            Kemudian Bu killer itu melambaikan tangan ke luar kelas, menandakan bahwa dia sedang menyuruh seseorang untuk masuk ke kelas. Dan masuklah seorang bule yang sepertinya pernah ku lihat. Ya memang benar dia adalah Steve, orang yang hampir saja dihajar oleh ku. Bu Jandayani killer itu menyuruh Steve untuk memperkenalkan diri. Dia langsung memperkenalkan dirinya dengan bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris yang sanggat janggal untuk didengar dengan angkuhnya, yang sepertinya membuat Rifad mengerti mengapa diriku sangat membencinya dan hampir saja menghajarnya habis habisan. Ketika Steve selesai memperkenalkan diri, Bu Jandayani yang sekarang sok lembut seperti menjaga image nya itu mempersilahkan duduk si bule angkuh itu.
“ Ayo anak-anak keluarkan kertas kalian untuk ulangan, waktu ulangan hanya 30 menit saja dan soalnya berjumlah 60.” Kata bu killer
Semua siswa pun mengeluarkan kertasnya, sedangkan Bu Jandayani mulai membagikan kertas soal ulangan kepada semua siswa. Bagi Rifad sih soal ulangan ini nggak susah susah banget, tetapi bagi ku soal ini bagaikan soal yang tak pernah akan terpecahkan seumur hidupnya. Aku berpikir bahwa Rifad memikirkan ini saat melihatku “Aku sebenernya kasihan tapi kalo aku bantu sama saja aku membunuh temen baikku sendiri.
30 menit berlalu
“ WAKTU HABIS! Anak anak ayo kumpulkan kertas ulangan kalian!”
Semua murid langsung saja mengumpulkan kertas ulangan mereka tak peduli sudah selesai maupun belum, mereka tak berani menentang sang guru killer ini.
“ Kita akan langsung cocokkan” sambil membagi kertas ulangan kepada siswa yang berbeda namanya.
Setelah semuanya terbagi, si guru killer itu pun memulali menulis jawaban ulangan tadi di papan tulis, Rifad melihatku dengan kasihan karna aku khawatir dengan nilai yang akan kudapat, Rifad sih optimis nilainya akan paling bagus sekelas. Bukannya sok tahu, tetapi itu sudah terbukti dalam pelajaran bahasa inggris nilainya selalu yang terbaik.
“ Saya akan membacakan nilai ulangan kalian” Bu killer itu mulai membacakan nilai, memang ternyata nilai Rifad 98. Siapa yang akan mengalahkan nilai sebagus nilainya. Bu Jandayani sudah membacakan nilai sampai yang terakhir yaitu si bule angkuh itu, dan ternyata nilainya adalah 100, nilai yang sangat mengejutkan bagiku juga Rifad. Memang benar dia orang asing yang keseharianya ngomong pakai bahasa inggris, tapi bagaimana bisa dia mengalahkan Rifad.
“ Ya itulah nilai kalian, dan untuk Rifad dan Pandu, kalian dipanggil oleh kepala sekolah di ruanganya.”
Kami berdua langsung saja pergi ke ruang kepala sekolah, sebenarnya kami tidak penasaran kenapa kami berdua dipanggil kepala sekolah. Setibanya di depan ruang kepala sekolah kami langsung mengetuk pintu, dan dipersilahkan masuk oleh kepala sekolah yang bernama Bapak Dudamanto.
“ Silahkan duduk” kata Bapak Dudamanto dengan ramah. Kami berdua duduk di depan Pak Dudamanto yang baik ini berbeda dengan Bu Jandayani.
“ Kalian tahu kan, kenapa kalian dipanggil kemari?”
“ Tau Pak” Jawab kami serempak
Kami berdua dipanggil oleh Pak Dudamanto karena kami adalah siswa terpilih, Rifad adalah pemenang olimpiade matematika tingkat Nasional dan 1 bulan lagi akan mengikuti olimpiade matematika tingkat Internasional. Sedangkan aku adalah pemenang bela diri boxing Nasional yang akan bertanding di kejuaraan dunia boxing 1 bulan lagi juga..
“ Kalian sudah bersiapkan? Dan untuk Pandu, saya punya lawan latih tanding buat kamu, yaitu Steve, dia adalah wakil dari Australia untuk kejuaraan boxing.
Kami berdua terkejut, ternyata Steve adalah wakil boxing Australia. Kami bertiga pergi ketempat latihan boxing di sekolah, di sana Steve dan aku akan berlatih tanding. Sesampai di sana kami langsung berlatih setelah bersiap siap. Dan yang tak kalah mengejutkan adalah aku kalah telak melawan Steve angkuh dari Australia itu.
“ So, This your ability, aku dissopointed sama kamu. Ternyata Indonesian is not strong, but only stupid cow.” Ejek Steve.
“ Apa kamu bilang!!”
“ Tenang ndu, kamu hanya perlu mbuktikan pada kejuaraan aja” Rifad berusaha menenangkanku
1 bulan kemudian.

Aku ditemani Rifad ke Singapore, tempat di mana kejuraan boxing dunia berlangsung sekaligus tempat olimpiade akan berlangsung 4 hari lagi.
Saat pertandingan aku berhasil melaju ke semifinal dengan mudah, tetapi di semifinal aku akan melawan Steve. Aku akan menghadapi orang yang telah mengalahkanku dengan mudah pada sesi lawan tanding dulu.
Di ring
“ Aku nggak akan kalah dengan mudah, saat ini aku memikul nama Indonesia, nama bangsaku. Aku akan mengharumkan nama negaraku” kata ku bersemangat
“ Let see later” kata Steve
Bunyi bel berdering, bertanda pertandingan dimulai. aku mengambil start dengan mencoba memukul kepala Steve, tetapi Steve dengan cekatan menghindar. Setelah menghindar Steve meluncurkan beberapa pukulan di bagian perut, untung saja hanya 2 pukulan yang kuterima karena pukulan lainnya berhasil kublok. Steve meluncurkan lagi pukulan di bagian kepala, kali ini pukulanya kena telak. Dan aku terjatuh.
“ It is right, kau too weak, with this aku win” kata Steve senang
“ Tunggu dulu aku belum kalah, aku masih bisa” kata ku sambil bangkit
Aku bangkit dan berhasil berdiri lagi
“ Aku nggak akan kalah, karena aku membawa nama baik Indonesia, demi nama baik para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan.”
Aku berlari menuju ke Steve, lalu ku luncurkan tinju ke bagian perut Steve. Steve sedikit tertunduk, pada kesempatan itu ku luncurkan uppercut yang mengenai kepala Steve. Steve langsung terjatuh dan tak bisa melanjutkan pertandingan.
Dengan uppercut tadi aku berhasil memenangkan pertandingan tadi dan menuju ke final. Sayangnya di final aku harus kalah oleh wakil dari China yang bernama Chin Odla Duk. Tetapi aku telah membuktikan bahwa memikul nama Indonesia bisa membuat diriku lebih kuat dengan mengalahkan Steve yang dulu telah mengalahkanku dengan telak. Aku telah mengharumkan nama Indonesia dengan mendapatkan perak di kejuaraan bergengsi itu.
4 hari kemudian…
Sekarang giliran Rifad untuk mengharumkan nama Indonesia di kanca Internasional. Tetapi yang ku harap dia bisa mengerjakan dan berusaha semaksimal mungkin untuk nama bangsa. Dan ternyata aku terkejut bahwa nama Rifad berada di pemilik nilai tertinggi, sehingga ia mendapatkan emas untuk Indonesia. Betapa senangnya aku dan Rifad bisa mengharumkan bangsa Indonesia. Sungguh bangga ketika bendera Indonesia berkibar tinggi. Aku dan Rifad berjanji akan mempertahankan bendera Indonesia tetap berkibar di  ujung tiang tertinggi di Indonesia.
Karya: ARIF ADI NUGROHO

Sunday, December 18, 2011

KASIH DI BALIK SEBUAH MEMORI

KASIH DI BALIK SEBUAH MEMORI

    Maret, 1945
    Terdengar suara ledakan keras tak jauh dari rumahku. Semua orang berlarian, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Ku percepat langkah kakiku berlari ke hutan. Semakin jauh aku berlari, semakin gelap suasana sore ini. Kaki ini letih, namun aku kuatkan diriku untuk terus berlari. Panik. Tiba-tiba aku tersandung akar pohon yang menjalar di atas permukaan tanah. Aku tak tahu apa yang terjadi sesudahnya. Tapi tiba-tiba semua gelap gulita.
    Aku bangun dan sadar diriku terbaring di sebuah ranjang besi. Terdengar suara-suara orang bercakap-cakap dengan logat kasar, yang tak aku mengerti bahasanya. Beberapa detik sesudahnya aku sadar ada sesuatu yang telah melandaku. Sesuatu yang telah merubah hidupku. Tak dapat ku percaya, kornea mataku robek! Ya, aku buta. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Gelap dan dingin yang mencekam, suara tawa orang-orang yang membuat hidupku hancur, membuat aku semakin begidik mendengarnya.
***
    Agustus, 1942
    Kala itu Jepang belum lama menginjakkan kaki di Indonesia. Deretan pangkat tersemat di dada mereka. Dengan memanggul senjata, mereka mengaku datang sebagai sahabat. Kehidupan kami kaum pribumi sedikit dapat bisa bernafas lega. Dengan bangga kami dapat melihat Sang Merah Putih berkibar membelah angkasa.
    Kehidupanku berjalan normal seperti gadis desa lainnya. Pagi-pagi buta aku mencari air di sungai yang jaraknya sekitar lima kilometer. Sementara bila siang menjelang, aku mengantar bekal makan siang untuk bapak yang lelah bekerja seharian di sawah. Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa. Sesekali ibu menganyam bambu menjadi keranjang-keranjang manis untuk dijual di pasar. Biasanya aku pergi ke pasar untuk menjualkannya, pulangnya aku selalu melalui jalan setapak kecil yang di sisi sebelah timurnya berdiri dengan kokohnya kantor kemiliteran Jepang. Halamannya yang luas tampak sejumlah pemuda berlatih senjata.
    Karena terlalu memperhatikan mereka, aku tersandung batu dan terjatuh. Darah keluar dari kakiku dan aku mulai merasa kesakitan. Aku bingung harus berbuat apa. Perjalanan yang ku tempuh juga masih panjang. Tiba-tiba seorang pemuda datang menghampiriku. Dirobeknya lengan baju yang ia kenakan dan dibalutkan pada lukaku. Rasa perihnya sedikit terobati. Tak berhenti aku memandangi wajah pemuda itu. Tatapan matanya yang teduh membuatku terpana.
    “Masih terasa sakit?” tanyanya ramah.
    “Ti-tidak,” jawabku tergagap dengan masih terpana memandanginya. Sepertinya dia sadar sedari tadi aku pandangi. Cepat-cepat ku palingkan wajahku. Dia hanya tersenyum. Sepertinya dia pemuda yang baik.
    “Ada apa?” ucapnya hangat, “hari makin gelap. Sebaiknya kamu cepat pulang. Keluargamu pasti mencemaskanmu. Mari, aku bantu.”
    “Aw,” jeritku sambil menahan sakit. Kakiku tak dapat ku gerakkan.
    “Masih ada yang sakit?”
    “Kakiku tak dapat bergerak.”
    “Naiklah ke punggungku. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”
    Aku merasa bersalah sudah merepotkannya. Kami bercakap-cakap sedikit dan ku ketahui namanya Parman. Ia seorang prajurit. Ada perasaan asing yang menggetarkan jiwaku. Rasa yang belum pernah aku rasakan selama enam belas tahun hidupku di dunia.
    Rumahku sudah nampak dari kejauhan. Orang tuaku terlihat cemas. Setelah Parman mendudukkanku di kursi, ia menjelaskan apa yang terjadi pada orang tuaku. Aku masih terpana dengannya. Ia pamit pulang sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.
    Matahari terus terbit dan tenggelam. Aku semakin dekat dengan Parman. Namun aku masih belum tahu bagaimana perasaannya kepadaku.
***
    Maret, 1945
    Negeri ini kacau balau akibat kedudukan Jepang yang makin terdesak. Semua berubah. Dan aku sadar kini aku menjadi seorang Jugun Ianfu*). Pilu sekali hati ini merasakannya. Setiap hari aku harus memuaskan nafsu para manusia bejat itu! Dinodainya diriku bergantian oleh para biadab itu. Aku tak berdaya.
    Beberapa bulan berlalu. Aku hamil, entah dari siapa benih ini kudapatkan. Keadaan makin kacau seiring usia kandunganku yang makin bertambah. Aku berhasil meloloskan diri bersama Wardini. Kami terus berlari hingga aku merasakan sakit yang tak tertahankan pada perutku. Di balik semak-semak, sekuat tenaga dengan kekuatan terakhirku, akhirnya suara tangisan memcah suasana hening sore itu. Wardini membalut bayiku dengan selendang pemberian Parman yang aku bawa saat pertama musibah ini bermula.
    Belum dapat aku bernafas lega, hentakan kaki-kaki serdadu terdengar kembali. Kami bingung seketika. Tubuhku lemas. “Wardini, selamatkan dirimu dan anakku.”
    “Tapi bagaimana dengan dirimu? Tak mungkin aku meninggalkanmu.”
    “Sudahlah, waktumu tak banyak! Mereka semakin mendekat.” Ku kecup kening bayiku untuk terakhir kalinya. Mungkin juga ini saat terakhirku dapat merasakan hembusan angin yang sepoi-sepoi.
***
    Agustus, 2011
    Sudah beberapa dasawarsa berlalu. Aku masih bisa hidup hingga saat ini, entah bagaimana dan sejak kapan. Kini aku duduk di beranda luar panti jompo. Aku sedang menunggunya. Gadis cantik, seorang dokter muda yang cukup sering berkunjung di panti jompo ini. Dia datang! Aku mendengar suara mesin mobil yang selalu menandakan kedatangannya. Dia menghampiriku dan menawariku untuk berjalan-jalan. Didorongnya kursi rodaku ke taman. Kemudian ia menyuapiku makan dengan sabar dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba aku muntah. Aku takut ia merasa jijik dan tidak mau mengunjungiku lagi. Tapi rupanya aku salah. Ia membersihkan bekas muntahan di bajuku. Ku ulurkan tanganku untung menyentuh gadis ini. Tak sengaja aku menyentuh selendang yang dibelitkan di lehernya. Aku merabanya perlahan, sepertinya aku mengenal selendang ini.(ayeng)
***

*) Jugun Ianfu : wanita penghibur pada masa kependudukan Jepang.

Saturday, June 25, 2011

Sketsa Kehilangan

Ku ayunkan kakiku menyusuri setiap sudut desa kecil ini. Setiap lorongnya aku susuri. Tapi anak-anakku belum juga aku temukan. Padahal aku baru melahirkan mereka kemarin.
Desa ini sudah ditinggalkan. Hanya ada aku yang masih berkutat dengan pencarian anak-anakku. Kemarin orang-orang berlalu-lalang membawa harta benda, keluarga, dan tentunya anak-anak mereka. Pikiranku kembali kupusatkan pada pencarian anak-anakku. Beberapa pasang lingkaran berkilau di ujung lorong memancingku untuk berlari ke arahnya, berharap itu kilauan mata anak-anakku. Tapi bukan.
Rasanya semakin larut aku semakin sulit bernafas. Rambut-rambutku juga mulai rontok dengan sendirinya.Telingaku terus berdengung. Semoga aku tidak tuli. Tapi di sela gemuruh dan dengungan yang memenuhi telingaku, suara rintihan bocah terselip.
***
Bocah ini berjalan mengiringi langkah kakiku. Bocah ini sering tersandung karena gelap dna hampir menindihku. Aku benci itu. Ah, aku terlalu berlebihan. Bocah ini cerewet sekali, dari ceritanya aku tau bahwa bocah ini bernama Ian. Aku dan ian berjalan menjauhi gunung Merapi yang semakin marah.
Aku berhenti memanggil anak ini dengan sebutan ‘bocah’. Dia tidak seburuk yang aku ceritakan. Sekarang sudah subuh. Kami melakuki perjalanan yang cukup panjang semalam. Aku sempat berada digendongannya yang hangat. Mengingatkanku pada majikanku.
Aku menjilat beberapa bagian tubuhku, menunggu Ian yang sedang menjalankan ibadah sholat subuh. Kami menemukan surau yang hampir runtuh, namun masih layak. Aku kagum sekaligus kasihan pada anak ini. Bagaimana tidak, ia hanya anak berumur sepuluh tahun yang menyelamatkan diri dari bencana dan harus kehilangan keluarganya.
“Pus....” Aku mendongak untuh melihatnya yang berdiri di hadapanku. Tampan, tapi matanya cekung. Andai saja aku bisa menyuruhnya tidur dan beristirahat. Tapi yang keluara hanya eaonganku.
***
Aku merindukannya. Sudah satu minggu rupanya. Ya, satu minggu lalu Ian bertemu ibunya. Aku mengikuti mereka selama beberapa jam dan terpisah. Hariku benar-benar sepi. Aku lelah. Aku sudah menyerah dalam pencarian anak-anakku.
Belaian angin membuat rambutku yang pendek ini bergoyang seperti rumput yang aku lihat dihadapanku. Cukup lama aku melamun memangdang ------- eh, sepertinya mataku menangkap dua sosok sepertiku. Mirip. Dua sosok itu menggeliat di dekat kaki seorang bocah yang berjongkok membelakangiku.
***
Majikanku sudah meninggal dan jenazahnya ditemukan di temukan bersama anak-anakku. Bayi-bayi kecil yang menggeliat dalam kotak yang dibbawanya.Aku mendengar hal ini dari Ian, seorang anak kecil yang bermain dengan anak-anakku tempo hari. Anak-anakku sudah bersamaku. Begitu juga dengan Ian yang terpisah dengan ibunya.
Pagi ini Ian duduk beralaskan rumput dengan kristal beningnya. Kulihat matanya pun demikian, meneteskan kristal bening yang terkena pancaran cahaya matahari pagi. Aku duduk di sampingnya, merasakan rasa kehilangannya.
***
“Adik kenapa menangis?” tanya semorang wartawan muda sebuah surat kabar. Dapat ku ketahui dari tanda pengenal yang ia kenakan.
Ian diam saja. Dan beberapa detik berikutnya wartawan muda itu melanjutkan, “ah, atau kakak perlihatkan gambar-gambar pemandangan saja? Indah sekali dik. Sebentar ya....”
Ian  hanya mengangguk. Wartawan muda itu dengan cekatan membuka gambar-gambar koleksinya. Aku ikut menngintip dan terlonjak kaget saat Ian meneriakkan mamanya. Kontan saja wartawan muda itu ikut terkejut. Ian terus menangis dan wartawan muda itu menenangkan Ian.
“Mama, kak... Itu baju yang mama pakai,” raung Ian sambil menunjuk laptop wartawan muda itu.
Seperti tersambar petir, wartawan itu sadar dan menekan tombol untuk melihat foto yang kami lihat sebelumnya. Aha! Aku tau sekarang. Foto wanita paruh baya yang tergeletak itu adalah ibu Ian. Sudah terbujur kaku. Wajahnya tak dapat dikenali. Baju yang di kenakan sebagian besar tertutup abu, namun masih nampak cukup jelas.
***
Aku mengisi hari-hari yang Ian lalui di pengungsian. Kami terurus di sini. Dan kini anak-anakku sudah cukup besar. Ian menjadi majikan yang baik bagiku dan anak-anakku. Andai aku bisa mengasuhnya, menjadi ibunya. Tapi aku hanya seekor kucing yang luluh hatinya karena manusia. Semua anak dan cucuku, serta keturunanku akan menemani Ian melanjutkan perjalanannya, aku berjanji. Aku mulai dengan menitipkan anak-anakku pada Ian dan aku yakin mereka akan bersama. Karena mungkin aku akan pergi besok.

Malam Tertatih

Suara derap langkah orang yang membuka pintu membuatku terbangun. Cahaya temaran lampu lima watt teras menerangi sosok tersebut. Membantu mataku untuk lebih jelas melihatnya. Sudah ku duga, itu adalah sosok majikanku. Aku beranjak, menggeliat, dan mengendus kakinya. Membuatnya berjongkok dan menggendongku sebelum akhirnya masuk. Kami hanya berdua di sini. Di rumah kontrakan kecil yang hanya punya satu kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan dapur. Halaman belakang merupakan tempat kesukaanku. Tempatku mengejar capung dan kadang memakan rumput. Rumput di pagi hari selalu membuatku bersin karena kristalnya yang bening.
Malam ini aku tidur di dalam rumah. Biasanya aku lebih memilih mencari tikus di gorong-gorong. Malam yang dingin ini membuatku memilih meringkuk di kaki majikanku. Denyut nadinya yang berirama dengan detak jantungku membuatku nyaman.
Sial, cicitan tikus itu mengganggu tidurku. Merangsang cacing di perutku untuk bernyanyi. Aku menggeliat dan melompat turun. Ku endus salah satu tangan majikanku yang jatuh dari tempat tidur. Lengannya yang terkulai mulai banyak bekas sayatan. Dari yang kecil, kira-kira dua cm, hingga yang hampir melingkari lengannya. Apakah itu aib bagi manusia? Sehingga majikanku selalu memakai baju berlengan  panjang.
Sudahlah, tikus buruanku sudah terdengar menjauh. Aku berlari kesana kemari dan hanya mendapat kelelahan. Ruangan ini gelap karena lampu yang telah padam. Namun tetap saja aku bisa melihat dengan jelas.
Beruntung sekali aku diciptakan sebagai kucing, bukan tikus yang hanya akan dikejar-kejar kucing atau manusia yang suka menyayat kulitnya.
Majikanku berubah sejak pria yang hendak ku putuskan urat kakinya itu datang kerumah.  Mereka tampak sangat jelas merahasiakan sesuatu. Bagaimana tidak, pria itu menyuruh majikan untuk mengeluarkanku dan mengunci rumah, seolah aku akan berlari ke alun-alun kota dan berteriak membeberkan pembicaraan mereka. Yang benar saja, aku hanya seekor kucing. Hal itu membuat tersinggung. Aku memang kucing kampung, tapi aku punya harga diri dan kewajiban melindungi majikanku.
Majikanku sering mengupat sambil menelan beberapa pil. Pil yang diberikan pria tidak ramah pada malam itu  mungkinkah pria itu dokter? Sepertinya tidak.
Sudah 2 hari ini majikan mengacuhkanku dan tidak  memberiku makan. Mungkin sedang banyak tugas di sekolahnya. Repotnya menjadi manusia yang harus belajar setiap hari. Atau mungkin uangnya sudah habis. Yah, namanya saja anak rantau. Tidak bisa mengatur pengeluaran, salah-salah malah kehabisan uang. Tapi aku maklum saja. Asalkan aku masih bisa merasakan denyut nadi di kakinya yang berirama dan tidur dekat tubuhnya yang hangat.
Sore ini hujan lebat. Aku sedang mengamati air hujan yang menusuk, merembes ke dalam tanah. Apakah akan merasakan sakit bila menjadi tanah yang dihujam jutaan tetes air hujan?
Majikanku sedang tidur di sofa. Sebenarnya sofa kami hanya berupa kursi panjang dari kayu dan dilapisi tumpukan kain oleh majikanku.
Tetes air hujan menghipnotisku hingga tak sadarkan diri. Aku terbangun saat mendengar teriakan dari dalam rumah. Suara teriakannya aneh. Tak lain dan tak bukan adalah majikanku. Aku buru-buru berlari masuk tanpa sempat menggeliat seperti ritual bangun tidurku biasanya. Kudapati majikanku berjongkok di atas sofa sambil memegang sapu. Lagaknya seperti pemancing hebat. Begitu aku mencoba mendekat, ia berteriak melarangku untuk mendekat. Dan kau tahu alasannya? Sangat konyol. Yang ada dipikirannya, lantai tempatku berpijak merupakan lautan. Dan ia adalah pemancingnya. Memancing ikan hiu. Sebenarnya ada apa dengan manusia ini?
Malam ini majikanku pulang membawa ikan bandeng segar untukku. Aku nebghabiskan kepalanya dan menyimpan sisanya untuk nanti. Rupanya majikanku sudah punya rezeki. Setelah kenyang dan selesai menjilati beberapa bagian tubuhku, aku memanjat sofa  dan merapat ke kaki majikanku yang sudah tidur sejak pulang tadi. Meringkuk di kakinya selalu membuatku nyaman. Baru beberapa detik ku sandarkan kepalaku pada kakinya, rasa hangat itu kian hilang. Ku dengarkan dengan seksama denyut di kakinya. Samar sekali. Bahkan sebenarnya hanya detak jantungku yang terdengan. Tidak ada irama. Yang ada hanya dingin yang mencekam.
   

HIJRAH

Suara alunan lagu dari radio membuat batinku terasa nyaman sekali. Aku berbaring didekat kakinya, di keset empuk kotak-kotak merah biru kesayanganku. Aku berbaring dalam kehangatan, sambil mengenang malam-malam yang sudah aku lewati. Malam-malam di bawah bentangan langit berselimutkan bintang-bintang. Malam-malam yang dingin ditemani bulan dan malam-malam saat aku belum menemukan Faisal. Saat aku belum setua ini.
Sekian malam yang kuhabiskan untuk mencari Faisal. Suara-suara indah dari radio terus berganti, aku bangun perlahan-lahan, menarik kedua kaki depanku dan menggeliat. Lalu kembali kurebahkan diri di keset. Faisal tersenyum sayang padaku dari kursinya.
Bagi kucing tua sepertiku, kehangatan sangatlah penting. Mungkin begitu juga bagi kucing-kucing lain. Tapi entahlah, sebab tidak semua kucing berpendapat sama. Dan yang jelas, tidak semua kucing memiliki pengalaman yang sama. Aku sudah mengenal banyak kucing. Aku pernah mengenal kucing yang hidupnya serba berkecukupan, selalu makan makanan enak, tiduk di tempat tidur empuk dan pergi ke salon. Aku juga pernah mengenal kucing yang sinar matanya redup, pandangan sayunya menggambarkan sebuah kerinduan pada kehangatan di dalam rumah. Aku pernah juga kenal kucing-kucing yang diperlakukan kejam oleh manusia, kucing-kucing yang mencuri ikan. Dan kucing-kucing yang mengais tempat sampah. Aku pernah mengenal kucing-kucing itu, dan aku pernah mengalami semua yang mereka alami.
***
Malam ini hujan. Udara dingin menggigit. Selama berminggu-minggu seekor kucing bisa melihat uap embusan nafasnya sepanjang malam, bahkan sepanjang siang. Kebun-kebun basah. Air tergenang di mana-mana dan nampak kelabu. Dengkungan katak terdengar di penjuru tempat. Suaranya masih terngiang-ngiang di kepalaku sepanjang hari. Andai saja ini musim kemarau, pasti keadaannya tidak seperti ini. Udara dipenuhi suara-suara dengung serangga, kura-kura berjemur di bawah panas matahari, ikan-ikan berenang diantara tumbuhan air. Kulitnya mengilap diterpa cahaya matahari. Dan malamnya aku bisa menggeliat untuk merenggangkan tubuhku. Malam musim dingin ini lain. Aku hanya bisa meringkuk kedinginan, memeluk kaki belakangku dengan kaki depanku, sambil mendengar tetesan air hujan di emperan toko yang sepertinya sudah bangkrut ini.
Ribuan tetes air dari langit ini menghambatku untuk mencari keluarga majikanku yang hilang. Aku masih mencari rumah baru mereka. Bodoh sekali aku keluar dari mobil saat mereka mengisi bahan bakar. Mereka tidak mengetahui kejadian yang terjadi padaku ini. Alhasil aku kehilangan mereka. Untunglah aku pernah diajak ke rumah baru yang hendak mereka tempati. Memang saat itu pembangunan rumah belum selesai. Baru jadi setengahnya. Mereka hanya mengunjungi.
Aku berada di gendongan anak perempuan keluarga ini. Kulongokkan kepalaku ke jendela melihat jalan sepanjang perjalanan. Cukup jauh. Atau bisa disebut jauh sekali bagiku. Satu jam lebih perjalanan kami. Mungkin sekitar enampuluh kilometer. Aku tidak pintar berhitung dan mengira-ingira. Tapi untunglah aku pintar mengingat rute jalan. Lantas bagaimana jika enampuluh kilometer dan ditempuh dengan cepat? Sepertinya aku ragu.
Ada empat orang dalam keluarga majikanku. Aku tahu anak-anak manusia biasanya sekali lahir tidak banyak seperti anak kucing, melainkan hanya satu atau dua seperti anak kerbau. Kedua orangtua dalam keluarga majikanku ini mempunyai dua anak. Si sulung laki-laki, sedangkan adiknya perempuan. Lambat laun aku jadi tahu nama keduanya. Aku paling dekat dengan yang perempuan, walaupun sering kesal dengan suaranya yang amat berisik. Aku juga baru mengenalnya setelah usiaku beberapa bulan.
Sebenarnya bisa saja aku mencari majikan baru atau tinggal menjadi kucing liar. Namun aku menyayangi keluarga ini. Saudaraku pun ikut serta dengan mereka. Aku merindukannya. Merindukan keluarga majikanku dan saudaraku.
Aku dilahirkan bersama tiga saudaraku yang lain. Dua diantara mereka mati dimakan kucing jantan liar yang berkeliaran di sekitar rumah kami. Sedang ibuku, ia mati tertabrak mobil.
Ah, hujan masih saja menyelimuti bumi. Aku sudah sangat lelah. Seperti yang kubilang tadi, musim hujan nan dingin begini suara dengkungan katak terdengar dimana-dimana, sebagai melodi pengantar tidurku. Aku menggeliat dan kurebahkan kembali badanku. Ku dengarkan suara tetesan air hujan yang menusuk kedalam tanah, menghipnotisku untuk terlelap.
***
Aku memandang penuh kerinduan pada jendela kaca yang berembun, bekas hujan yang baru saja reda. Terdapat wanita paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan makanan. Semburat sinar senja sudah menghilang beberapa jam yang lalu. Hari sudah gelap. Ku dekati rumah itu,  berharap seseorang membukakan pintu dan mempersilakanku masuk. Aku melamun. Suara derit pintu di depanku membuyarkan lamunanku. Anak laki-laki yang melihatku langsung saja mengangkat tubuhku, membawaku masuk dan kembali menutup pintu. Rumah ini memberikanku kehangatan. Wanita paruh baya yang tadi ku lihat menyambut kedatanganku. Ku balas sapaannya dengan eongan lembutku. Aku ditidurkan di dapur. Kehangatan di tengah lelahku membuat aku tertidur.
Sekitar tengah malam aku terbangun. Ku edarkan pandanganku dalam gelap ruangan ini dan menangkap benda bulat yang berkilau dan melayang. Nafasku tercekat di kerongkongan. Benda bulat berkilau dan melayang itu menghampiriku. Aku berjalan mundur perlahan. Tiba-tiba saja pemilik benda itu menerkamku. Ternyata sepasang mata milik seekor anjing yang besar. Aku meraung-raung, berusaha mencakar wajahnya. Aku terlalu kecil untuk anjing herder seperti dia. Rasanya perutku sudah terkoyak. Untung hanya perasaanku saja. Dan yang lebih untung aku ditendang keluar dari rumah ini.
Saat kejadian itu, saat anjing yang menyebalkan itu berhasil menggigit kaki depanku hingga pincang, lampu-lampu di dapur menyala. Pintu dibuka, dan di sinilah aku sekarang berada Mengkais-kais tong sampah di ujung gang. Belum aku dapat secuilpun makanan, aku sudah kembali diterkam. Kali ini oleh kucing-kucing liar penguasa daerah ini. Aku berlari dan terus berlari dengan kaki pincang hingga bayangan di depanku membuatku menghentikan langkah. Ku dapati sosok wanita tua. Aku hanya pasrah ketika tubuhku diangkatnya. Ku endus aroma tubuhnya. Auranya juga menyenangkan. Sepertinya aku akan betah jika wanita ini mengadopsiku dan mengajakku tingal bersamanya.
***
Aku mempunyai beberapa teman baru, dan semuanya ramah kepadaku. Kakiku masih pincang setelah beberapa hari berlalu sejak anjing herder itu menggigitku. Kebahagiaan akan keluarga membuatku terlena dan melupakan tujuan awalku untuk mencari majikanku yang lama.
Wanita tua yang mengadopsiku ku ketahui bernama Heni. Sepanjang hidupnya entah apa saja yang ia lakukan untuk menghabiskannya. Ia tidak pernah mengucap janji suci pernikahan. Mungking kesepian yang menghantui hidupnya ia alihkan dengan merawat kucing-kucing sepertiku. Entahlah.
***
Ambulance melaju kencang di jalanan. Melanggar beberapa lampu lalu lintas yang masih melotot dengan warna merah. Kendaraan lain mengalah untuk memberi jalan. Aku dan beberapa ekor kucing peliharaan Bu Heni menemaninya dalam perjalanan ke rumah sakit bersama asistennya. Perawat menyebut-nyebut bahwa bu Heni terkena serangan jantung.
Asistennya menggendongku dan mondar-mandir di depan ruang UGD. Dokter yang keluar ruangan mengabarkan berita duka, kematian Bu Heni yang membuat asisten mudanya ini menangis hingga matanya sembab. Kebahagiaanku yang baru ku kecap sudah hilang dengan sekejap.
Aku turun dari gendongannya dan berjalan menjauh. Mungkin aku tak bisa tinggal di rumah Bu Heni lagi. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Masih di sekitar UGD. Aku hampir ditabrak tempat tidur dorong yang keluar dari UGD. Yang di atasnya tertutup rapat oleh kain putih. Kain yang bersih namun berlumuran darah hampir di mana-mana. Dikelilingi oleh orang-orang yang menangis. Aku tertegun melihatnya. Ku lihat Faisal—anak majikan lamaku yang sulung—memanggilku. Tubuhku diangkat dan dipeluk olehnya. Lalu aku di letakkan di tempat tidur dorong yang tadi hampir menabrakku. Faisal membuka kainnya dan kudapati wajah Kiki sudah pucat pasi berlumuran darah yang mulai mengering.

Friday, April 22, 2011

HATI YANG SATU

Hati yang Satu

“Syaf, hari ini pulang ma aku lagi ya cinta?” Tanya tio. Seperti biasanya syafi menerima ajakan pacarnya untuk pulang bersama. Mereka sudah jadian kurang lebih dua belas bulan lebih dua belas hari dan baru saja merayakan hari jadi mereka. Mereka selama ini menjalin hubungan tanpa di ketahui keluarga kedua belah pihak karena peraturan yang ketat dari orang tua mereka.Walaupun orang tua Tio tidak seketat orang tua Syafi. Selama mereka menjalin hubungan banyak cobaan dan rintangan yang mereka hadapi dan setiap rintangan yang berhasil mereka atasi menjadikan cinta mereka kian kuat dan kokoh. Di sepanjang jalan mereka bercerita dan bercanda tentang pengalaman yang dialami mereka hari itu. Samapi juga mereka di perempatan dekat rumah syafi kemudian syafi turun dan berjalan kaki menyusuri jalan menuju rumahnya yang sudah ramai dengan anak-anak yang dititipkan di rumahnya. Rumahnya memang dijadikan tempat penitipan anak. Belum sempat syafi melangkahkan kakinya untuk masuk rumah, ia sudah ditunggu oleh mamanya di depan rumah. “Dek, tadi kamu diantar siapa lagi?” Tanya mama. Jelas saja syafi menjawab kalau dia tadi diantar oleh seorang temannya. Tentu dia takut kalau mamanya marah mengetahui dirinya sudah mempunyai pacar lebih dari satu tahun belakangan ini. Sekali lagi mamanya terlihat percaya dengan apa yang dikatakan oleh syafi dan menyuruhnya untuk mengasuh salah satu anak titipan. Sejenak syafi terlihat tegang kemudian menjadi tenang mendengar apa yang diucapkan oleh mamanya. Kemudian ia masuk ke rumahnya dengan perasaan aman dan melaksanakan tugas hariannya. Setelah Tio mengantar Syafi pulang, ia bergegas untuk langsung pulang mengingat hari sudah kian sore. Sesampainya di rumah ia melihat papa dan mamanya berada di teras melihat kolam-kolam ikan dan sembari mendengarkan alunan melodi indah dari gemericik air kolam yang mengalir mengikuti alur aliran kolam. Perlahan tapi pasti Tio masuk dan mendekat pada orang tuanya. Melihat Tio telah pulang papanya bertanya “kenapa jam segini baru pulang?” Tio menjawab “Nyari tugas kok pa.” Mendengar hal itu papanya hanya mengingatkan kalau sebulan lagi ia akan mengikuti UN. Tio hanya menganggukan kepala isyarat bahwa ia mengerti apa yang dikatakan oleh papanya. Tio tahu apa yang dikatakan papanya semua itu untuk kebaikannya. Kemudian Tio berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat agar nanti malam dia bisa berkonsentrasi untuk belajar materi menghadapi Ujian Nasional. Hari demi hari mereka berlalu dengan keceriaan dan penuh cinta. Syafi selalu member Tio semangat untuk belajar dan menghadapi ujian yang akan menentukan nasib dan jalan hidupnya setelah ini. Tio sangat bahagia dan bersemangat karrena pujaan hatinya selalu menyemangati dia. Tio pun masih mengantarnya pulang walau sekarang Syafi dah bawa motor sendiri setelah mamanya tiba-tiba memperbolehkanya naik motor sendiri.Sekarang Tio hanya mengikuti dan menjaganya dari belakang. Walaupun demikian Tio merasa sanngat bahagia bias melihat dan menjaga Syafi dengan cara begitu. Sebenarnya Tio sempat terbesit pikiran bahwa orang tuanya Syafi tahu dan curiga kalau cowok yang sering nganter putrinya itu cowoknya jadi mereka memperbolehkan syafi naik motor agar dia tidak bisa mengantarnya pulang. Tapi pikiran itu pun sirna karena ternyata Tio masih bisa mengantar Syafi pulang.Hari demi hari pun terus berjalan perlahan dengan canda tawa yang menghiasi hari-hari mereka bersamaan dengan itu hari penentuan kelulusan untuk Tio pun semakin dekat. Hari itu hari kamis, mereka menghabiskan waktu bersama untuk menonton sebuah film dan melakukan hal yang menyenangkan bersama sama. Hal itu mereka lakukan karena kurang empat hari lagi Tio melaksanakan ujian nasional sehingga mulai besok orang tua Tio menyuruh Tio langsung pulang serta mengawasinya belajar di rumah. Mereka berniat menjadikan hari ini sebagai hari yang sangat menyenangkan dan tak terlupakan bagi mereka. Sampai sampai mereka berdua lupa waktu, tidak terasa waktu sudah menunjukan jam lima lebih dua belas menit sewaktu mereka melihat jam yang dipakai mereka masing masing. Seketika itu juga mereka berdua buru-buru pulang. Seperti biasa Tio tidak langsung pulang ke rumah melainkan mengikuti Syafi pulang. Sesampainya mereka di pertigaan dekat rumahnya Syafi mereka berpisah dan Tio segera bergegas pulang. Sebelum Syafi menginjakan kaki di perkarangan rumah, mamanya sudah menantinya dengan wajah geram seperti gunung berapi yang akan memuntahkan isinya. Syafi mendekat dengan perasaan takut di dalam hatinya. Benar saja ternyata mamanya marah karena ia tahu bahwa putrinya pulang malam karena pergi pacaran. Mamanya ternyata selama ini mengawasi dan menyelidiki Syafi dan kegiatan Syafi dengan menyuruh orang untuk mengawasinya. Dengan marah mama berkata “Dek, mama kan sudah bilang!! Kamu itu masih kecil gak boleh pacaran dulu!!” kemudian Syafi menjawab pelan “tapi..”. Sebelum Syafi menyelesaikan kata katanya mama Syafi menyerobot dan terus memarahinya di depan rumah. Mendengar dan melihat mamanya marah marah kepadanya ia tidak dapat membendung air matanya kemudian ia berlari masuk rumah diiringi dengan tetesan air matanya. Belum berhenti air mata Syafi, mamanya menghampirinya dan menyuruhnya memutuskan hubunganya dengan Tio. Mendengar hal itu hatinya semakin berkecambuk dia tidak mau mengecewakan orang tuanya tapi dia juga sangat mencintai Tio dan yakin akan cinta mereka. Akhirnya Syafi memutuskan untuk menyetujui permintaan mamanya selain itu ia memutuskan untuk tidak menemui dan memberitahukan hal ini kepada Tio sebelum Ujian Nasioanal selesai. Sementara itu tio yang langsung pulang dan belajar seperti biasa. Keesokan harinya setelah bel pulang sekolah Tio berharap untuk bertemu dengan Syafi. Akan tetapi, setelah ia cari di seluruh sekolahan dan berusaha menelfonnya hasilnya nol, akhirnya dia bertanya pada salah satu temannya Syafi dan ternyata Syafi telah pulang duluan. Dengan hati yang sedih Tio pun memutuskan untuk pulang. Sementara itu di jalan Syafi terus menangis memikirkan hubunganya dengan Tio. Ia sangat mencintai Tio dan berjanji untuk setia pada cinta itu. Dia juga tidak mau menyakiti hatinya Tio karena ia tinggalkan. Dia tak bisa membayangkan betapa kecewanya Tio kepadanya nanti. Tiba tiba dari arah berlawanan ada mobil yang bergerak dengan kecepatan yang cukup tinggi dan akan berbelok. Syafi yang sedari tadi melamun terlambat sadar akan lamunanya dan menyadari akan kedatangan mobil itu. Kecelakaan yang membuat lamunanya lenyap itu pun tidak bisa di hindari seketika itu tubuh dan motor Syafi terlempar ke pinggir jalan. Syafi yang berlinangan darah di sekujur tubuhnya langsung tidak sadarkan diri dan terbujur lemah tak berdaya sedangkan motornya rusak parah. Warga sekitar yang melihat kejadian itu dengan sigap segera membawa Syafi ke rumah sakit dan menghubungi orang tuanya. Tio yang sedang memikirkan Syafi seketika tersadar ketika ada telfon masuk. Segera saja Tio mengangkatnya tiba tiba ia menangis mendengar teman nya Syafi memberitahu bahwa Syafi kecelakaan dan sekarang koma. Tanpa pikir panjang ia memanggil papa dan mamanya dan mengajak mereka ke rumah sakit di mana Syafi dirawat. Orang tuanya tak menolak melihat putra mereka begitu shock dan sedih , segera saja orang tuanya mengeluarkan mobil dan mengantarkanya ke rumah sakit yang diminta oleh anak mereka. Sesampainya di rumah sakit, Tio langsung turun dan berlari mencari ruang tempat Syafi terbaring lemas. Tio terus berlari sampai akhirnya ia menemuka ruangan itu. Di depan ruangan itu berdiri keluarganya Syafi, melihat kedatangan Tio mamanya Syafi langsung menghampirinya dan menampar Tio kuat kuat. “berani kamu ke sini setelah membuat putriku begini!! Brengsek kamu! plaaak!!” Tio hanya menjawab lirih “ ma’af tante aku sangat mencintai putrimu aku mencintai dia dengan seluruh hidupku.” Mendengar hal itu orang tua Syafi dan Tio menjadi saling menyalahkan. Sekarang bukan dia yang menjadi bulan bulanan orang tuanya syafi tapi karena orang tua Tio mencoba melindunginya sekarang mereka rebut sendiri sendiri. Tio tak menghiraukan mereka dan terus berjalan menuju Syafi. Dia menggenggam tangannya Syafi kemudian mengusapnya. “ Syaf aku di sini. Aku di sini hanya untukmu, aku sangat mencintaimu. Aku tak mau ke….” Sebelum tio menyelesaikan kata-katanya itu tiba-tiba Tio memegang dadanya. Ia tersungkur ke lantai. Melihat hal itu orang tua kedua belah pihak bingung dan memanggil dokter dan membawanya ke ruang perawatan . sejenak setelah tio dibawa oleh dokter Syafi sadar dan memanggil manggil Tio melihat Syafi sadar orang tuanya kemudian menghampiri dan mengatakan bahwa Tio tadi ke sini tapi sekarang ia juga dirawat karena collapse. Setelah mendengar hal itu syafi mengatakan ia ingin pegi melihat keadaan kekasihnya, kemudian Syafi diantar ke ruang rawat Tio berada dengan menggunakan kursi roda. Kata dokter Tio mengalami serangan jantung karena dia shock dan menanggung beban yang berat dan sekarang dirawat secara intensif cerita papanya Tio. Setelah beberapa jam akhirnya Tio berhasil diselamatkan dan dapat dijenguk. Syafi, dan kedua belah keluarga masuk dan menjelaskan bahwa mereka menyetujui hubungan antara Syafi dan Tio. Mereka meminta maaf karena terlalu egois. Mendengar hal itu Syafi dan Tio sangat bahagia yang tak dapat digantikan dengan kata-kata dan berterima kasih kepada orang tua mereka. Mulai sekarang mereka tak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Cinta sejati memang pantas untuk diperjuangkan .