Suara alunan lagu dari radio membuat batinku terasa nyaman sekali. Aku berbaring didekat kakinya, di keset empuk kotak-kotak merah biru kesayanganku. Aku berbaring dalam kehangatan, sambil mengenang malam-malam yang sudah aku lewati. Malam-malam di bawah bentangan langit berselimutkan bintang-bintang. Malam-malam yang dingin ditemani bulan dan malam-malam saat aku belum menemukan Faisal. Saat aku belum setua ini.
Sekian malam yang kuhabiskan untuk mencari Faisal. Suara-suara indah dari radio terus berganti, aku bangun perlahan-lahan, menarik kedua kaki depanku dan menggeliat. Lalu kembali kurebahkan diri di keset. Faisal tersenyum sayang padaku dari kursinya.
Bagi kucing tua sepertiku, kehangatan sangatlah penting. Mungkin begitu juga bagi kucing-kucing lain. Tapi entahlah, sebab tidak semua kucing berpendapat sama. Dan yang jelas, tidak semua kucing memiliki pengalaman yang sama. Aku sudah mengenal banyak kucing. Aku pernah mengenal kucing yang hidupnya serba berkecukupan, selalu makan makanan enak, tiduk di tempat tidur empuk dan pergi ke salon. Aku juga pernah mengenal kucing yang sinar matanya redup, pandangan sayunya menggambarkan sebuah kerinduan pada kehangatan di dalam rumah. Aku pernah juga kenal kucing-kucing yang diperlakukan kejam oleh manusia, kucing-kucing yang mencuri ikan. Dan kucing-kucing yang mengais tempat sampah. Aku pernah mengenal kucing-kucing itu, dan aku pernah mengalami semua yang mereka alami.
***
Malam ini hujan. Udara dingin menggigit. Selama berminggu-minggu seekor kucing bisa melihat uap embusan nafasnya sepanjang malam, bahkan sepanjang siang. Kebun-kebun basah. Air tergenang di mana-mana dan nampak kelabu. Dengkungan katak terdengar di penjuru tempat. Suaranya masih terngiang-ngiang di kepalaku sepanjang hari. Andai saja ini musim kemarau, pasti keadaannya tidak seperti ini. Udara dipenuhi suara-suara dengung serangga, kura-kura berjemur di bawah panas matahari, ikan-ikan berenang diantara tumbuhan air. Kulitnya mengilap diterpa cahaya matahari. Dan malamnya aku bisa menggeliat untuk merenggangkan tubuhku. Malam musim dingin ini lain. Aku hanya bisa meringkuk kedinginan, memeluk kaki belakangku dengan kaki depanku, sambil mendengar tetesan air hujan di emperan toko yang sepertinya sudah bangkrut ini.
Ribuan tetes air dari langit ini menghambatku untuk mencari keluarga majikanku yang hilang. Aku masih mencari rumah baru mereka. Bodoh sekali aku keluar dari mobil saat mereka mengisi bahan bakar. Mereka tidak mengetahui kejadian yang terjadi padaku ini. Alhasil aku kehilangan mereka. Untunglah aku pernah diajak ke rumah baru yang hendak mereka tempati. Memang saat itu pembangunan rumah belum selesai. Baru jadi setengahnya. Mereka hanya mengunjungi.
Aku berada di gendongan anak perempuan keluarga ini. Kulongokkan kepalaku ke jendela melihat jalan sepanjang perjalanan. Cukup jauh. Atau bisa disebut jauh sekali bagiku. Satu jam lebih perjalanan kami. Mungkin sekitar enampuluh kilometer. Aku tidak pintar berhitung dan mengira-ingira. Tapi untunglah aku pintar mengingat rute jalan. Lantas bagaimana jika enampuluh kilometer dan ditempuh dengan cepat? Sepertinya aku ragu.
Ada empat orang dalam keluarga majikanku. Aku tahu anak-anak manusia biasanya sekali lahir tidak banyak seperti anak kucing, melainkan hanya satu atau dua seperti anak kerbau. Kedua orangtua dalam keluarga majikanku ini mempunyai dua anak. Si sulung laki-laki, sedangkan adiknya perempuan. Lambat laun aku jadi tahu nama keduanya. Aku paling dekat dengan yang perempuan, walaupun sering kesal dengan suaranya yang amat berisik. Aku juga baru mengenalnya setelah usiaku beberapa bulan.
Sebenarnya bisa saja aku mencari majikan baru atau tinggal menjadi kucing liar. Namun aku menyayangi keluarga ini. Saudaraku pun ikut serta dengan mereka. Aku merindukannya. Merindukan keluarga majikanku dan saudaraku.
Aku dilahirkan bersama tiga saudaraku yang lain. Dua diantara mereka mati dimakan kucing jantan liar yang berkeliaran di sekitar rumah kami. Sedang ibuku, ia mati tertabrak mobil.
Ah, hujan masih saja menyelimuti bumi. Aku sudah sangat lelah. Seperti yang kubilang tadi, musim hujan nan dingin begini suara dengkungan katak terdengar dimana-dimana, sebagai melodi pengantar tidurku. Aku menggeliat dan kurebahkan kembali badanku. Ku dengarkan suara tetesan air hujan yang menusuk kedalam tanah, menghipnotisku untuk terlelap.
***
Aku memandang penuh kerinduan pada jendela kaca yang berembun, bekas hujan yang baru saja reda. Terdapat wanita paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan makanan. Semburat sinar senja sudah menghilang beberapa jam yang lalu. Hari sudah gelap. Ku dekati rumah itu, berharap seseorang membukakan pintu dan mempersilakanku masuk. Aku melamun. Suara derit pintu di depanku membuyarkan lamunanku. Anak laki-laki yang melihatku langsung saja mengangkat tubuhku, membawaku masuk dan kembali menutup pintu. Rumah ini memberikanku kehangatan. Wanita paruh baya yang tadi ku lihat menyambut kedatanganku. Ku balas sapaannya dengan eongan lembutku. Aku ditidurkan di dapur. Kehangatan di tengah lelahku membuat aku tertidur.
Sekitar tengah malam aku terbangun. Ku edarkan pandanganku dalam gelap ruangan ini dan menangkap benda bulat yang berkilau dan melayang. Nafasku tercekat di kerongkongan. Benda bulat berkilau dan melayang itu menghampiriku. Aku berjalan mundur perlahan. Tiba-tiba saja pemilik benda itu menerkamku. Ternyata sepasang mata milik seekor anjing yang besar. Aku meraung-raung, berusaha mencakar wajahnya. Aku terlalu kecil untuk anjing herder seperti dia. Rasanya perutku sudah terkoyak. Untung hanya perasaanku saja. Dan yang lebih untung aku ditendang keluar dari rumah ini.
Saat kejadian itu, saat anjing yang menyebalkan itu berhasil menggigit kaki depanku hingga pincang, lampu-lampu di dapur menyala. Pintu dibuka, dan di sinilah aku sekarang berada Mengkais-kais tong sampah di ujung gang. Belum aku dapat secuilpun makanan, aku sudah kembali diterkam. Kali ini oleh kucing-kucing liar penguasa daerah ini. Aku berlari dan terus berlari dengan kaki pincang hingga bayangan di depanku membuatku menghentikan langkah. Ku dapati sosok wanita tua. Aku hanya pasrah ketika tubuhku diangkatnya. Ku endus aroma tubuhnya. Auranya juga menyenangkan. Sepertinya aku akan betah jika wanita ini mengadopsiku dan mengajakku tingal bersamanya.
***
Aku mempunyai beberapa teman baru, dan semuanya ramah kepadaku. Kakiku masih pincang setelah beberapa hari berlalu sejak anjing herder itu menggigitku. Kebahagiaan akan keluarga membuatku terlena dan melupakan tujuan awalku untuk mencari majikanku yang lama.
Wanita tua yang mengadopsiku ku ketahui bernama Heni. Sepanjang hidupnya entah apa saja yang ia lakukan untuk menghabiskannya. Ia tidak pernah mengucap janji suci pernikahan. Mungking kesepian yang menghantui hidupnya ia alihkan dengan merawat kucing-kucing sepertiku. Entahlah.
***
Ambulance melaju kencang di jalanan. Melanggar beberapa lampu lalu lintas yang masih melotot dengan warna merah. Kendaraan lain mengalah untuk memberi jalan. Aku dan beberapa ekor kucing peliharaan Bu Heni menemaninya dalam perjalanan ke rumah sakit bersama asistennya. Perawat menyebut-nyebut bahwa bu Heni terkena serangan jantung.
Asistennya menggendongku dan mondar-mandir di depan ruang UGD. Dokter yang keluar ruangan mengabarkan berita duka, kematian Bu Heni yang membuat asisten mudanya ini menangis hingga matanya sembab. Kebahagiaanku yang baru ku kecap sudah hilang dengan sekejap.
Aku turun dari gendongannya dan berjalan menjauh. Mungkin aku tak bisa tinggal di rumah Bu Heni lagi. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Masih di sekitar UGD. Aku hampir ditabrak tempat tidur dorong yang keluar dari UGD. Yang di atasnya tertutup rapat oleh kain putih. Kain yang bersih namun berlumuran darah hampir di mana-mana. Dikelilingi oleh orang-orang yang menangis. Aku tertegun melihatnya. Ku lihat Faisal—anak majikan lamaku yang sulung—memanggilku. Tubuhku diangkat dan dipeluk olehnya. Lalu aku di letakkan di tempat tidur dorong yang tadi hampir menabrakku. Faisal membuka kainnya dan kudapati wajah Kiki sudah pucat pasi berlumuran darah yang mulai mengering.
No comments:
Post a Comment