Laman

Sunday, December 18, 2011

KASIH DI BALIK SEBUAH MEMORI

KASIH DI BALIK SEBUAH MEMORI

    Maret, 1945
    Terdengar suara ledakan keras tak jauh dari rumahku. Semua orang berlarian, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Ku percepat langkah kakiku berlari ke hutan. Semakin jauh aku berlari, semakin gelap suasana sore ini. Kaki ini letih, namun aku kuatkan diriku untuk terus berlari. Panik. Tiba-tiba aku tersandung akar pohon yang menjalar di atas permukaan tanah. Aku tak tahu apa yang terjadi sesudahnya. Tapi tiba-tiba semua gelap gulita.
    Aku bangun dan sadar diriku terbaring di sebuah ranjang besi. Terdengar suara-suara orang bercakap-cakap dengan logat kasar, yang tak aku mengerti bahasanya. Beberapa detik sesudahnya aku sadar ada sesuatu yang telah melandaku. Sesuatu yang telah merubah hidupku. Tak dapat ku percaya, kornea mataku robek! Ya, aku buta. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Gelap dan dingin yang mencekam, suara tawa orang-orang yang membuat hidupku hancur, membuat aku semakin begidik mendengarnya.
***
    Agustus, 1942
    Kala itu Jepang belum lama menginjakkan kaki di Indonesia. Deretan pangkat tersemat di dada mereka. Dengan memanggul senjata, mereka mengaku datang sebagai sahabat. Kehidupan kami kaum pribumi sedikit dapat bisa bernafas lega. Dengan bangga kami dapat melihat Sang Merah Putih berkibar membelah angkasa.
    Kehidupanku berjalan normal seperti gadis desa lainnya. Pagi-pagi buta aku mencari air di sungai yang jaraknya sekitar lima kilometer. Sementara bila siang menjelang, aku mengantar bekal makan siang untuk bapak yang lelah bekerja seharian di sawah. Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa. Sesekali ibu menganyam bambu menjadi keranjang-keranjang manis untuk dijual di pasar. Biasanya aku pergi ke pasar untuk menjualkannya, pulangnya aku selalu melalui jalan setapak kecil yang di sisi sebelah timurnya berdiri dengan kokohnya kantor kemiliteran Jepang. Halamannya yang luas tampak sejumlah pemuda berlatih senjata.
    Karena terlalu memperhatikan mereka, aku tersandung batu dan terjatuh. Darah keluar dari kakiku dan aku mulai merasa kesakitan. Aku bingung harus berbuat apa. Perjalanan yang ku tempuh juga masih panjang. Tiba-tiba seorang pemuda datang menghampiriku. Dirobeknya lengan baju yang ia kenakan dan dibalutkan pada lukaku. Rasa perihnya sedikit terobati. Tak berhenti aku memandangi wajah pemuda itu. Tatapan matanya yang teduh membuatku terpana.
    “Masih terasa sakit?” tanyanya ramah.
    “Ti-tidak,” jawabku tergagap dengan masih terpana memandanginya. Sepertinya dia sadar sedari tadi aku pandangi. Cepat-cepat ku palingkan wajahku. Dia hanya tersenyum. Sepertinya dia pemuda yang baik.
    “Ada apa?” ucapnya hangat, “hari makin gelap. Sebaiknya kamu cepat pulang. Keluargamu pasti mencemaskanmu. Mari, aku bantu.”
    “Aw,” jeritku sambil menahan sakit. Kakiku tak dapat ku gerakkan.
    “Masih ada yang sakit?”
    “Kakiku tak dapat bergerak.”
    “Naiklah ke punggungku. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”
    Aku merasa bersalah sudah merepotkannya. Kami bercakap-cakap sedikit dan ku ketahui namanya Parman. Ia seorang prajurit. Ada perasaan asing yang menggetarkan jiwaku. Rasa yang belum pernah aku rasakan selama enam belas tahun hidupku di dunia.
    Rumahku sudah nampak dari kejauhan. Orang tuaku terlihat cemas. Setelah Parman mendudukkanku di kursi, ia menjelaskan apa yang terjadi pada orang tuaku. Aku masih terpana dengannya. Ia pamit pulang sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.
    Matahari terus terbit dan tenggelam. Aku semakin dekat dengan Parman. Namun aku masih belum tahu bagaimana perasaannya kepadaku.
***
    Maret, 1945
    Negeri ini kacau balau akibat kedudukan Jepang yang makin terdesak. Semua berubah. Dan aku sadar kini aku menjadi seorang Jugun Ianfu*). Pilu sekali hati ini merasakannya. Setiap hari aku harus memuaskan nafsu para manusia bejat itu! Dinodainya diriku bergantian oleh para biadab itu. Aku tak berdaya.
    Beberapa bulan berlalu. Aku hamil, entah dari siapa benih ini kudapatkan. Keadaan makin kacau seiring usia kandunganku yang makin bertambah. Aku berhasil meloloskan diri bersama Wardini. Kami terus berlari hingga aku merasakan sakit yang tak tertahankan pada perutku. Di balik semak-semak, sekuat tenaga dengan kekuatan terakhirku, akhirnya suara tangisan memcah suasana hening sore itu. Wardini membalut bayiku dengan selendang pemberian Parman yang aku bawa saat pertama musibah ini bermula.
    Belum dapat aku bernafas lega, hentakan kaki-kaki serdadu terdengar kembali. Kami bingung seketika. Tubuhku lemas. “Wardini, selamatkan dirimu dan anakku.”
    “Tapi bagaimana dengan dirimu? Tak mungkin aku meninggalkanmu.”
    “Sudahlah, waktumu tak banyak! Mereka semakin mendekat.” Ku kecup kening bayiku untuk terakhir kalinya. Mungkin juga ini saat terakhirku dapat merasakan hembusan angin yang sepoi-sepoi.
***
    Agustus, 2011
    Sudah beberapa dasawarsa berlalu. Aku masih bisa hidup hingga saat ini, entah bagaimana dan sejak kapan. Kini aku duduk di beranda luar panti jompo. Aku sedang menunggunya. Gadis cantik, seorang dokter muda yang cukup sering berkunjung di panti jompo ini. Dia datang! Aku mendengar suara mesin mobil yang selalu menandakan kedatangannya. Dia menghampiriku dan menawariku untuk berjalan-jalan. Didorongnya kursi rodaku ke taman. Kemudian ia menyuapiku makan dengan sabar dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba aku muntah. Aku takut ia merasa jijik dan tidak mau mengunjungiku lagi. Tapi rupanya aku salah. Ia membersihkan bekas muntahan di bajuku. Ku ulurkan tanganku untung menyentuh gadis ini. Tak sengaja aku menyentuh selendang yang dibelitkan di lehernya. Aku merabanya perlahan, sepertinya aku mengenal selendang ini.(ayeng)
***

*) Jugun Ianfu : wanita penghibur pada masa kependudukan Jepang.

No comments:

Post a Comment