Situs Purbakala Palanggatan
Planggatan
hingga kini masih merupakan situs sejarah yang miskin informasi.
Barulah sejak 1979 situs ini menjadi asuhan Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng. Pada tahun 1985 BP3 Jateng pernah
melakukan penggalian sebanyak dua kali. Dari penggalian ini diketahui
bahwa candi yang masih terpndam ini menghadap ke Barat. Entah mengapa,
setelah diketahui arah hadap candi, penggalian dihentikan dan batuan
candi ditutup kembali.Justru karena diketahui bahwa candi menghadap ke
Barat serta adanya relief pada batu yang sudah tampak, disimpulkan bahwa
situs ini serupa atau sealiran dengan Candi Sukuh.
Lokasi
Situs Planggatan memiliki total luas 4.460 meter persegi, diapit oleh perkampungan penduduk dan tanah tegalan (perkebunan). Kalau kita berada di lingkungan situs, terasa berada di puncak candi yang berpendar melingkar ke segenap penjuru. Kondisi situs pada saat ini, sebagian besar batu-batunya belum tergali secara utuh. Hanya tampak beberapa batu berelief yang masih setengah terpendam. Berdasarkan informasi, pada awalnya tempat keberadaan situs ini merupakan tanah kas desa/dusun yang ditanami rumput untuk pakan ternak. BP3 Jateng merngupayakan penyertifikatan tanah. Dengan demikian, tanah tempat situs ini sekarang resmi dibawah pengelolaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan hingga kini tidak ada restribusi. Dengan demikian sangat jarang wisatawan yang datang, kalau pun ada merupakan singgahan setelah dari Candi Sukuh.
Situs Planggatan memiliki total luas 4.460 meter persegi, diapit oleh perkampungan penduduk dan tanah tegalan (perkebunan). Kalau kita berada di lingkungan situs, terasa berada di puncak candi yang berpendar melingkar ke segenap penjuru. Kondisi situs pada saat ini, sebagian besar batu-batunya belum tergali secara utuh. Hanya tampak beberapa batu berelief yang masih setengah terpendam. Berdasarkan informasi, pada awalnya tempat keberadaan situs ini merupakan tanah kas desa/dusun yang ditanami rumput untuk pakan ternak. BP3 Jateng merngupayakan penyertifikatan tanah. Dengan demikian, tanah tempat situs ini sekarang resmi dibawah pengelolaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan hingga kini tidak ada restribusi. Dengan demikian sangat jarang wisatawan yang datang, kalau pun ada merupakan singgahan setelah dari Candi Sukuh.
Relief
Yang tersisa dari Candi Planggatan yang dibangun pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut kini hanyalah sisa-sisa candi berupa sekumpulan batu andesit tersusun berderet membentuk denah berukuran 30 x 30 meter sedangkan bagian tengahnya berupa gundukan tanah setinggi satu meter saja. Dari tinggalan beberapa batu candi yang tersisa ini ada yang mempunyai relief. Relief yang dipahatkan pada sebuah batu sebagai bagian dari sebuah candi biasanya berfungsi sebagai penghias candi belaka atau dapat pula memuat cerita yang sesuai dengan sifat keagamaan candi tersebut.
Yang tersisa dari Candi Planggatan yang dibangun pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut kini hanyalah sisa-sisa candi berupa sekumpulan batu andesit tersusun berderet membentuk denah berukuran 30 x 30 meter sedangkan bagian tengahnya berupa gundukan tanah setinggi satu meter saja. Dari tinggalan beberapa batu candi yang tersisa ini ada yang mempunyai relief. Relief yang dipahatkan pada sebuah batu sebagai bagian dari sebuah candi biasanya berfungsi sebagai penghias candi belaka atau dapat pula memuat cerita yang sesuai dengan sifat keagamaan candi tersebut.
Tampaknya relief-relief yang tersisa di
candi ini dahulunya merupakan rangkaian sebuah cerita tetapi mengingat
jumlahnya yang terbatas (hanya 6 lempang) tampaknya cerita yang ingin
disampaikan dalam relief tersebut sukar untuk dirangkai. Relief-relief
tersebut antara lain relief seorang tokoh laki-laki yang merangkul
pinggang tokoh lain (wanita) di bagian muka dan di bagian belakang tokoh
terdapat tiga orang pengiring; relief seorang tokoh menunggang kuda
sedang di bagian belakang tokoh tersebut ada dua orang pengiring membawa
tombak dan pada bagian depan terdapat tiga orang bertubuh pendek;
relief rumah panggung dan dua rumah berbentuk pendapa yang di bagian
sampingnya terdapat seorang pengawal membawa tombak mengiring seorang
tokoh menunggang kuda; relief beberapa orang membawa senjata; relief
seorang tokoh menunggang kuda diiringi oleh beberapa
wanita dan tiga punakawan.
“Gajah Wiku”
Dari sejumlah relief yang tersisa ini
ada satu relief yang cukup menarik dan menjadi petunjuk kuat mengenai
pertanggalan candi tersebut. Relief itu adalah relief seekor gajah yang
digambarkan secara antropomorfis (setengah hewan-setengah manusia) dalam
posisi berdiri dengan belalai ke bawah dan di bagian mulutnya terdapat
gambar bulan sabit, seolah-olah gajah tersebut tengah memakan buah
sabit. Gajah digambarkan memakai sorban seperti seorang wiku/pendeta.
Pada bagian pinggang memakai ikat pinggang yang dibuat dari lipatan kain
dan pada bagian pinggang sampai lutut tertutup kain pula. Relief ini
merupakan sebuah sengkalan memet yang jika dibaca berbunyi “Gajah wiku
mangan wulan” yang jika diartikan menjadi sebuah angka tahun 1378 caka
atau sama dengan 1456 Masehi. Penggambaran Gajah Wiku ini sama dengan
relief yang ditemukan di Candi Sukuh merupakan bagian dari relief pande
besi, hanya saja relief Gajah Wiku di Candi Sukuh digambarkan tengah
memakan buntut. Namun nilai sengkalan memetnya mempunyai arti yang sama
yakni 1378 caka. Artinya pembangunan kedua candi ini (Planggatan dan
Sukuh) mempunyai kurun waktu yang sama.
Pada bagian kanan relief Gajah Wiku ini terdapat pahatan prasasti sebanyak empat baris. Bentuk pahatan huruf prasasti ini juga sama dengan prasasti batu yang ditemukan di Candi Ceto dan Sukuh. Hasil pembacaan Riboet Darmosoetopo, seorang dosen arkeologi Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta menyebutkan.
Pada bagian kanan relief Gajah Wiku ini terdapat pahatan prasasti sebanyak empat baris. Bentuk pahatan huruf prasasti ini juga sama dengan prasasti batu yang ditemukan di Candi Ceto dan Sukuh. Hasil pembacaan Riboet Darmosoetopo, seorang dosen arkeologi Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta menyebutkan.
Sebenarnya sorban yang dipakai gajah
bukan menggabarkan wiku (bhikkhu) karena wiku tidak memakai sorban,
namun berkepala gundul. Rasanya lebih mengena bila disebut sebagai
“gajah begawan”, sebab penggambaran begawan ada yang bersorban
sebagaimana digambarkan sebagi Begawan Abiyasa. Pendapat yang lain Situs
ini termasuk peninggalan dari Prabu Brawijaya V Raja terakhir Majapahit
sebelum moksa. (wafat beserta raganya) Diceritakan bahwa Prabu
Brawijaya V atau Prabu Udara berpindah dari kratonnya di Jawa Timur ke
Gunung Lawu sebelah Barat (Jawa Tengah – Kab Karanganyar), sebelumnya
Brawijaya sempat beristirahat dan membuat singgahan di sekitar Rawa
Pening (Kab.Semarang) yg saat ini disebut Candi Dukuh. Kami belum dapat
menginformasikan letak Candi Dukuh.
No comments:
Post a Comment