Pengantar
Bangsa Indonesia dikenal memiliki
kebudayaan dan peninggalan seni budaya yang beragam. Mulai dari seni
bangunan, kriya, bahasa, norma kehidupan sosial, adat istiadat dan
berbagai seni budaya yang tak terhitung jumlahnya. Kebudayaan dan
peninggalan seni budaya tersebut mempunyai nilai yang tinggi dan
beberapa diantaranya diakui oleh dunia sebagai warisan budaya asli
“heritage of” Indonesia. Seni budaya yang masih banyak dijumpai di
Indoensia antara lain bangunan candi, keris, wayang, seni pertunjukan
tari tradisional, gamelan, kethoprak kemudian batik, topeng, adat
kebiasaan seperti upacara-upacara ritual, dan lainnya.
Candi merupakan peninggalan budaya
bangsa Indonesia yang memiliki nilai sejarah yang sangat berharga.
Peninggalan candi banyak tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah
terbanyak berada di pulau Jawa. Candi Borobudur dan candi Prambanan
adalah beberapa candi yang sangat dikenal bahkan sampai ke mancanegara.
Tidak hanya candi Borobudur, candi Prambanan dan beberapa candi besar
lainnya, namun kita juga memiliki banyak candi yang berukuran lebih
kecil dan memiliki ciri khas yang berbeda. Candi Muara Takus di Riau,
Biaro Bahal di Sumatera Utara, atau candi Agung di Kalimantan Timur,
menunjukkan candi bukan milik Pulau Jawa saja.
Istilah candi digunakan untuk
menyebutkan sebuah bangunan yang berasal dari masa klasik sejarah
Indonesia, yaitu dari kurun waktu abad ke-5 M hingga ke-16 M. Candi
dapat berupa bangunan kuil yang berdiri sendiri atau berkelompok. Dapat
pula berupa bangunan berbentuk gapura beratap (Paduraksa) dan tidak
beratap (Candi Bentar). Petirtaan yang dilengkapi kolam dan arca
pancuran juga kerap disebut candi.
Candi yang berada di daerah lain seperti
Sumatera Utara dikenal istilah ”biaro” dan di Jawa Timur istilah
”cungkub”. Namun masyarakat lebih mengenal istilah candi, apa pun jenis
bangunan kuno (termasuk reruntuhan) serta di mana pun letak candi
berada. Kata ”candi” berasal dari salah satu nama yang diberikan kepada
Dewi Durga, yakni permaisuri Dewa Siwa. Dewi Durga disimbolkan sebagai
Dewi Maut yang disebut dengan “candika”. Istilah candi kemudian
digunakan untuk menyebutkan bangunan peninggalan pada jaman Indonesia
purba.
Candi merupakan peninggalan
kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di Indonesia, seperti Mataram
Hindu, Singasari, Majapahit, dan Sriwijaya. Candi Borobudur dan Candi
Prambanan (Loro Jonggrang) adalah bukti-bukti kejayaan Kerajaan Mataram
dari abad ke-8 hingga ke-11. Candi Singasari, Kidal, dan Jago
merupakan sisa-sisa kebesaran Kerajaan Singasari, dari abad ke-11
hingga ke-13. Candi Tikus, Bajangratu, Brahu, dan Wringin Lawang adalah
peninggalan Kerajaan Majapahit dari abad ke-13 hingga ke-15.
Candi-candi di sekitar Muara Jambi diduga merupakan sisa-sisa Kerajaan
Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11.
Candi-candi di Indonesia umumnya
bercirikan agama Budha (terutama aliran Mahayana dan Tantrayana) dan
agama Hindu (terutama aliran Siwaisme). Candi bersifat Budha dikenal
lewat arca Budha dan bentuk stupa, misalnya Borobudur dan Mendut.
Sementara itu, Candi bersifat Hindu mempunyai arca-arca dewa-dewi di
dalamnya, misalnya Prambanan dan Dieng. Uniknya, beberapa candi
bersifat campuran Siwa-Budha, antara lain Singasari dan Jawi di Jawa
Timur.
Candi di Indonesia dapat dibedakan
berdasarkan langgam seninya menjadi tiga bagian. Pertama, langgam Jawa
Tengah Utara. Contohnya Candi Gunungwukir, Badut, Dieng, dan
Gedongsongo. Kedua, Langgam Jawa Tengah Selatan misalnya Candi Kalasan,
Sari, Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan, dan Prambanan. Ketiga, langgam
Jawa Timur, termasuk candi-candi di Bali, Sumatera dan Kalimantan.
Contohnya Candi Kidal, Jago, Singasari, Jawi, Panataran, Jabung, Muara
Takus dan Gunung Tua. Ditilik dari corak dan bentuknya, pada dasarnya
candi di Jawa Tengah Utara tidak berbeda dari candi-candi Jawa Tengah
Selatan. Hanya candi-candi di Jawa Tengah Selatan lebih mewah dan lebih
megah dalam bentuk dan hiasan dibandingkan candi-candi Jawa Tengah
Utara. Perbedaan yang nyata terdapat pada candi-candi Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Umumnya candi langgam Jawa Tengah
berbentuk tambun, atapnya berundak-undak, reliefnya timbul agak tinggi
dan lukisannya naturalis, mengha-dap ke Timur, letak candi di halaman
utama, gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara serta berbahan
batu andesit. Sementara itu, candi langgam Jawa Timur berbentuk ramping,
atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus,
makara tidak ada hanya hiasan atasnya diberi kepala kara, reliefnya
timbul sedikit, lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, letak
candi di halaman belakang, menghadap ke barat dan berbahan batu bata.
Sejumlah arkeolog menamakan gaya seni candi berdasarkan aspek zaman dan
periode, yaitu gaya Mataram Kuno (abad VIII-X), gaya Singasari (abad
XII-XIV), dan gaya Majapahit (abad XIII-XV).
Dahulu candi di Indonesia digunakan
sebagai pemujaan terhadap nenek moyang (makam). Ada beberapa candi yang
berfungsi sebagai stupa (candi Borobudur), sebagai wihara (candi
Sari), sebagai istana (candi Boko), sebagai petirtaan / pemandian
(taman sari) dan sebagai gapura (candi Bajang Ratu). Penggunaan candi
sebagai tempat pemujaan dilakukan masyarakat (Jawa-bahkan hingga
sekarang) karena dianggap roh nenek moyangnya akan pergi menuju ke Yang
Kuasa. Mahameru (gunung) dianggap sebagai tempat yang tinggi makna
simboliknya, yakni makna-makna sakral, lebih dekat dengan Yang Kuasa dan
kekuasaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu candi-candi di Indonesia
banyak yang “bersandar” di gunung yakni didirikan di tempat dataran
yang tinggi, lereng atau area sekitar gunung-gunung. Lokasi candi yang
berada di gunung ini membuat lokasi candi biasanya berada di luar
pusat-pusat kerajaan kuno di Indonesia.
Pendirian candi-candi yang ada di
Indonesia mempunyai maksud, fungsi dan tujuan. Setiap candi biasanya
memiliki relief yang merupakan cerita, tuntunan nilai-nilai yang tinggi
dari pendirinya, dari cerita Ramayana, Mahabarata hingga relief-relief
yang melukiskan kejayaan suatu kerajaan. Setiap candi mempunyai ciri
dan keunikan tersendiri, salah satunya adalah candi Sukuh. Situs candi
ini sangat unik, baik dilihat dari bentuk candi secara umum maupun dari
relef-relief yang dipahat di dalamnya. Menurut sejarah, Candi Sukuh
dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana..
Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang
berpaham Hindu. Pada waktu itu para pengikut setia Kerajaan Majapahit
yang runtuh diserang Kerajaan Demak (berpaham Islam) melarikan diri ke
lereng Gunung Lawu, kemudian membangun candi ini.
Situs candi Sukuh ditemukan kembali
pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh
Johnson, pada waktu itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk
mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Mulai
saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh
antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek
tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim.
Profil Candi sukuh
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng
kaki Gunung Lawu pada ketinggi-an kurang lebih 1.186 meter di atas
permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan
111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa
Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan
Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer
dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Kurang lebih 4
kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi Cetho. Untuk
menuju lokasi ini kita dapat mengikuti jalan luar propinsi yang menuju
kearah objek wisata Tawang Mangu, bahkan jika terus naik kita dapat
menjumpai objek wisata Waduk Sarangan yang berada di wilayah
Kabupaten Magetan Jawa Timur. Di sekitar candi sukuh juga terdapat
sebuah makam mantan Ibu Negara yakni makam Kalitan tempat disemayamkan
Ibu Tien Soeharto. Jalan untuk mencapai lokasi candi Sukuh mempunyai
medan yang cukup terjal karena berada di atas sebuah bukit. Namun
sekarang jalan menuju ke candi sudah diaspal cukup nyaman meskipun
harus hati-hati karena terkadang ada kabut tebal yang mengurangi
pandangan depan dan membuat jalan aspal semakin licin.
Bangunan candi Sukuh memiliki ciri khas
bentuk yang relatife sederhana dibandingkan dengan candi lain. Hiasan
candi dan relief yang ada di candi Sukuh hanya sedikit dan tidak
terlalu dekoratif . Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh
berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah
lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bahkan bentuk
bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di
Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Bentuk candi ini yang
berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi lain di
Indonesia. Struktur ini juga mirip dengan bentuk piramida di Mesir.
Candi ini juga tergolong kontroversial karena adanya objek-objek lingga
dan yoni yang melambangkan seksualitas.
Kesan kesederhanaan bentuk candi ini
menurut arkeolog Belanda W.F. Stutterheim (tahun 1930) ada tiga
argumen: pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang
batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton,
kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi, atau
ketiga bahwa keadaan politik pada waktu itu menjelang keruntuhan
Kerajaan Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak, sehingga
tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Gapura Pertama dengan bentuk arsitektur yang khas,disusun agak miring berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Berbagai relief tampak dilukiskan di
beberapa sudut candi, beberapa ornamen sakral seperti Lingga-Yoni
digambarkan secara realistis mirip sekali dengan genital pria dalam
kehidupan kita sehari-hari. Beberapa kalangan menyebut candi ini
disebut candi porno, padahal pada zaman dahulu mungkin kaum awam tidak
mudah masuk kedalam candi ini karena kesakralannya yang tinggi.
Teras Pertama
Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan
trap (teras), teras yang posisinya makin ke belakang terletak di
dataran yang makin tinggi. Pada teras pertama terdapat pintu gerbang
(gapura) utama. Bentuk gapuranya amat unik yakni dibuat miring seperti
trapezium, layaknya pylon (gapura pintu masuk ke tempat suci) di Mesir.
Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan
raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta
mangan wong “ (gapura raksasa memakan manusia ). Gapura dengan karakter
9, buta karakternya 5, mangan karakternya 3, dan wong mempunyai
karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau
tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini.
Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan
phallus (penis) berhadapan dengan vagina dengan di kelilingi oleh
kalungan sperma. Sepintas relief ini mempunyai kesan porno, namun relief
ini mengandung makna yang mendalam, lingga-yoni ini merupakan lambang
kesuburan.
Lingga yoni berbentuk alat kelamin pria dan wanita serta berkalung untaian sprema
gambar.
Relief tersebut di pahat di lantai pintu
masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut
segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena
“suwuk”. Relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”,
yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia.
Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto
menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit
yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu “.Wiwara artinya gapura yang suci
dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan
karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu ( laki-laki )
berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka.
Teras kedua
Gapura yang terletak di teras kedua
kondisinya telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat
patung penjaga pintu atau dwarapala dalam keadaan rusak dan sudah
tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak memiliki atap dan pada
teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Pada bagian tengah
terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang
ekor. Relief ini terdapat sebuah candrasangkala pula yang dalam bahasa
Jawa berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, artinya dalam bahasa
Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki
makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka
atau tahun 1456 Masehi. Jika angka tahun ini benar menunjukkan
pembangunan gapura ini, maka ada selisih hampir duapuluh tahun antara
gapura di teras kedua ini dengan gapura di teras pertama.
Trap kedua ini lebih tinggi daripada
trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Terdapat jejeran tiga
tembok dengan pahatan-pahatan relief yang menggambarkan peristiwa
sosial yang menonjol di masyarakat sekitar pada saat pembangunan Candi
Sukuh, relief ini disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan
menggambarkan seorang wanita terdiri di depan tungku pemanas besi,
kedua tangannya memegang tangkai “ububan” ( peralatan mengisi udara pada
pande besi). Pande besi adalah pengrajin yang membuat peralatan untuk
menunjang kehidupan, seperti alat-alat pertanian, alat rumah tangga dan
lain-lain.
Bangunan utama candi Sukuh, bentuknya seperti bentuk Pyramid
Teras ketiga
Pada teras ketiga ini terdapat
pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri
serta patung-patung di sebelah kanan. Apabila ingin mendatangi candi
induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi
daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya
juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian, sebab candi
induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, memang dibuat untuk menguji
keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih
perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun
apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini,
kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Relief pada sebelah utara menggambarkan
seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya
tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap
Ketiga ini trap tertinggi yang merupakan trap paling suci. Tepat di
bagian tengah candi utama terdapat sebuah bujur sangkar yang merupakan
tempat menaruh sesajian, untuk membakar kemenyan, dupa dan hio.
Dengan struktur bangunan seperti ini,
candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu
Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur
sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah
itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata
menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang
mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah
memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli
Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman
Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia
tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena
trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak
petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga
ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan
batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada
umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci”
prasejarah jaman Megalithic.
Kemudian pada bagian kiri candi induk
terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi
Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala.
Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan
Sadewa. Disebut Sudamala (suda artinya: bersih, mala berarti: dosa)
sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang menda-pat
kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil
“ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga
atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula, yakni seorang
bidadari di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala. Sehingga cerita
Sudamala ini kemudian disebutkan dalam sebuah buku / kidung, yakni
Kidung Sudamala. Urutan relief dalam fragmen Sudamala adalah sebagai
berikut:
Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang
Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda
dari para Pandawa Lima. Keduanya adalah putra Prabu Pandu dari istrinya
yang kedua, Dewi Madrim. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan
Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama
Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari
Pandu, yaitu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan
Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau
pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita
yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan. Relief ini
menggambarkan ketika Dewi Kunthi meminta pada Sadewa agar mau “ngruwat”
Bethari Durga namun Sadewa menolak.
Relief kedua.
Pada relief kedua ini dipahat gambar
Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita)
yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan
Kalanjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan
membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalanjaya adalah jelmaan bidadara yang
dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai
raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam
dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di
belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang
melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung
hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di
hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang
diusir dari sorga karena pelanggaran.
Relief ketiga
Pada bagian ini digambarkan
bagaimana Sadewa bersama punakawan-nya, Semar berhadapan dengan pertapa
buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas.
Atas perintah Batari Durga yang telah dibebaskannya, Sadewa harus
mengawini anak seorang pendeta buta. Pertapa buta itu pun
disembuhkannya dari kebutaan.
Relief keempat
menggambarkan Sadewa berhasil
“ngruwat” Sang Durga. Sadewa kemudian diperintah pergi kepertapaan
Prangalas, di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa. Adegan di sebuah
taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan
Tambrapetra dan putrinya Dewi Padapa serta seorang punakawan di
pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan
putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.
Relief kelima
Relief ini melukiskan adegan adu
kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Bima
dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa
tersebut untuk dibunuh dengan kuku pancanakanya.
Beberapa bangunan di sekitar candi utama
Pada sebelah selatan jalan batu ada
terdapat candi kecil, yang didalamnya terdapat arca dengan ukuran yang
kecil pula. Di lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang
merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam
kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang
Garuda terdapat sebuah prasasti yang menandai tahun saka 1363. Cerita
ikwal Garudeya adalah sebagai berikut: Garuda mempunyai ibu bernama
Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama Dewi
Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena telah kalah bertaruh
tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh
sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berwujud ular naga
yang berjumlah seribu yang menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda
Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat
diruwat Sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan)
kepada para Dewa.
Altar berbentuk kura-kura
Kemudian sebagai bagian dari kisah
pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di dekat candi kecil terdapat
kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari
dunia bawah yakni dasar Gunung Mahameru, ini berkaitan dengan kisah
suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika Dewa Wisnu
menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain
mencari air kehidupan (tirta perwita sari). Bentuk kura-kura ini
menyerupai meja yang kemungkinan didesain sebagai tempat menaruh untuk
sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung
Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari
Tirta Amerta (kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta).
Bangunan Dan Patung Lainnya
Salah satu prasasti di kompleks
candi Suku.Di komplek candi induk terdapat sebuah prasasti yang
menyiratkan bahwa candi Sukuh dalam candi untuk Pengruwatan, yakni
prasasti yang diukir dipunggung relief sapi. Sapi tersebut digambarkan
sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit: “Goh
wiku anahut buntut” maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna
tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada dipunggung sapi
yang artinya kurang lebih demikian: untuk diingat-ingat ketika
bersujud di kahyangan (puncak gunung), terlebih dulu agar datang di
pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh wiku anahut buntut 1379.
Kata yang sama dengan ruwatan disini yaitu kata: “pawitra” yang artinya
pemandian suci. Karena di kompleks Candi Sukuh tidak terdapat
pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci
untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk
pengruwatan, seperti yang sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief
cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat
dipastikan candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci untuk
melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan.
Selain candi utama dan patung-patung
kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa
patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada
zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah untuk
sarana transportasi. Bentuk bangunan lain adalah relief tapal kuda yang
menggambarkan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan
yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini
melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan
kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Kemudian ada
sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara.
Di bagian tengah bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa
kepala.
Keberadaan Candi Sukuh
Bentuk candi Sukuh secara umum lebar
bagian bawah candi kemudian meruncing ke atas seperti gunung, meskipun
secara spesifik bentuk candi Sukuh ini tergolong unik dibandingkan
dengan candi-candi lain di Jawa (Tengah). Sesuai dengan kepercayaan
masyarakat pada waktu itu bahwa gunung merupakan tempat yang memiliki
unsur kekuatan dan kesakralan, maka candi ini dibangun di sebuah lereng
gunung Lawu. Kondisi ini memberikan pandangan bahwa bangunan candi ini
didirikan di luar pusat pemerintahan atau pusat kerajaan yang
mendirikannya, karena biasanya pusat-pusat kekuasaan kerajaan jaman dulu
berada di dataran yang rata dan tidak berbukit seperti Kraton Jogja,
Solo, dan lainnya.
Seperti yang telah diuraikan di atas,
bahwa sejarah berdirinya situs candi Sukuh ini pada awal abad 15.
Menurut sejarah pula, candi Sukuh didirikan oleh para pelarian Kerajaan
Majapahit yang kalah perang melawan Kerajaan Demak dalam proses
penyebaran agama Islam di Jawa. Kerajaan Hindu Majapahit mengalami
puncak kejayaannya pada tahun 1350–1389. Puncak kejayaan Majapa-hit ini
dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada yang
menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan hingga Jazirah Malaka
sesuai dengan “Sumpah Palapa” Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu.
Kemudian Islam mulai masuk ke Jawa dengan membawa pengaruh dan
perkembangan yang sangat pesat. Apabila sejarah ini benar, maka lokasi
situs candi yang didirikan oleh pengikut Majapahit ini berada sangat
jauh dari pusat kerajaan Majapahit. Pusat kerajaan Majapahit berada di
Jawa Timur sedangkan lokasi candi Sukuh masuk ke wilayah Jawa Tengah
(meskipun dalam wilayah perbatasan Jateng dan Jatim).
Lokasi candi Sukuh saat ini berada di
dalam wilayah Karesidenan Surakarta. Sejarah berdirinya karesidenan
Surakarta sendiri mempunyai rentang waktu yang cukup lama dengan
berdirinya candi Sukuh. Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri sebagai
suatu kerajaan pecahan dari Kesultanan Mataram (Islam) pada 13
Februari 1755, yaitu sebagai akibat dari ditandatanganinya Perjanjian
Giyanti. Pemerintah Hindia Belanda dalam perjanjian tersebut juga
mengakui Sunan Pakubuwana III sebagai raja yang berhak mengatur rumah
tangganya sendiri. Di awal masa kemerdekaan (1945-1946), bersama Praja
Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Akan tetapi
karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni
1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan
Surakarta, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa candi Sukuh bukan produk dari Kasunanan
Surakarta, karena usia candi Sukuh keberadaannya lebih dulu daripada
Kasunanan Surakarta. Candi Sukuh juga bukan merupakan produk dari
Kesultanan Mataram, karena Kesultanan Mataram menganut paham Islam yang
mentabukan keberadaan candi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa candi Sukuh kemungkinan bukan produk sebuah kerajaan tertentu
sehingga tidak berada di sebuah pusat pemerintahan atau pusat kerajaan.
Keberadaan candi Sukuh yang berlokasi di
tempat yang jauh dari pusat kerajaan serta relief yang dipahat kurang
indah dibandingkan dengan candi-candi lain di Indonesia, menunjukkan
bahwa candi ini dibuat oleh orang-orang yang kurang memahami atau
memiliki kemampuan skill dan pengetahuan tentang pembuatan candi pada
waktu itu. Bentuk candi yang sederhana dan terlihat lain dibandingkan
dengan candi lain diperkirakan dipahat oleh orang yang tidak menguasai
teknik pahat batu atau bahkan dipahat oleh tukang kayu atau tukang
pande besi, karena disana juga ditemukan relief kegiatan pande yakni
membuat peralatan atau kerajinan dari besi.
Lokasi candi yang berada di sebuah
lereng gunung Lawu ini juga menunjukkan bahwa penentuan tempat ini
seadanya tanpa memperhitungkan kondisi yang lebih strategis. Pemilihan
lokasi candi yang jauh di lereng gunung tersebut “candi ndeso”
kemungkinan merupakan tempat yang aman bagi para pelarian orang
Majapahit yang kalah perang oleh pasukan Islam Demak. Pelarian yang
kalah dalam suatu pertempuran tentunya mencari tempat persembunyian
yang aman dan jauh dari pusat keramaian, maka dengan lokasi candi Sukuh
yang pada waktu dulu mungkin tempatnya sangat sulit untuk dijangkau
oleh lain.
Penutup
Candi Sukuh merupakan candi yang
digunakan sebagai sarana peribadahan umat Hindu pada waktu itu.
Meskipun adanya relief penis dan vagina yang terkesan porno, namun
tentunya memiliki simbol dan makna tertentu karena candi ini digunakan
sebagai tempat beribadah. Relief lingga yoni di gapura terdepan dan
bagian atas candi induk di candi Sukuh juga merupakan lambang ucapan
syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan
yang mereka peroleh. Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip
dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan
roh-roh leluhur. Candi tersebut merupakan bangunan suci agama Syiwa,
yang di Indonesia berbentuk lingga dan digambarkan secara realistis
sebagai alat kelamin laki-laki. Kenyataan lainnya adalah adanya ruang
pemujaan di candi utama yang digunakan untuk bersembahyang.
Keberadaan Candi Sukuh merupakan tempat
peribadahan yang suci dan menjadi saksi atas ketaatan sebuah generasi
dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai
kebudayaan dan peribadahan. Pendirian peninggalan ini tentunya
mempunyai makna dan maksud berupa ajaran hidup bagi umat dan
masyarakatnya, tentunya hal ini merupakan salah satu nilai penting yang
perlu kita gali dan kita terjemahkan dalam hidup kita sesuai dengan
keyakinan kita. Kessederhanaan candi Sukuh adalah salah satu wujud
karya nenek moyang yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita
sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan untuk tidak turut berbagi
dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan
didalamnya.
Candi Sukuh pada jamannya juga merupakan
tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ruwatan).
Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara
pengruwatan yakni: (a) Relief Lingga-yoni di gapura pertama selain
berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja
yang memasuki candi. (b) Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa
“ngruwat” Sang Durga. (c) Relief Garideya yang menggambarkan Garuda
“ngruwat” ibunya yang bernama Dewi Winata. (d) Prasasti tahun 1379 Saka
dipunggung sapi yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air
pengruwatan).
Sumber : http://noenkcahyana.blogspot.com/2010/10/candi-sukuh.html