Perubahan Sosial Di Abad Ke 20
Berakhirnya
Perang Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia,
Afrika dan Amerika Selatan dimana mayoritas masyarakat hidup. Akibatnya, muncul
berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara yang diberi
berbagai julukan seperti ”Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga”, ”Negara-negara
Terkebelakang”, ”Negara-negara Sedang Berkembang”, atau ”Negara-negara
Selatan”.
Gidden mengemukakan bahwa proses
peningkatan kesalingtergantungan masyarakat dunia yang dinamakannya globalisasi
ditandai oleh kesenjangan besar antara kekayaan dan tingkat hidup masyarakat
industri dan masyarakat Dunia Ketiga. Selain itu ia mencatat tumbuh dan
berkembangnya negara-negara industri baru, dan semakin meningkatnya komunikasi
antar negara sebagai dampak teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Teori perubahan sosial pada abad 20 yang
terkenal adalah:
1. Teori Modernisasi
Teori Modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh
jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi
negara berkembang pula melalui proses modernisasi. Teori ini berpandangan bahwa
masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi berbagai kekurangan dan
masalahnya sehingga dapat mencapai tahap ”tinggal landas” ke arah perkembangan
ekonomi. Menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni transisi dari keadaan
tradisional ke modernitas melibatkan revolusi demografi yang ditandai
menurunnya angka kematian dan angka kelahiran; menurunnya ukuran dan pengaruh
keluarga; terbukanya sistim stratifikasi; peralihan dari stuktur feodal atau
kesukuan ke suatu birokrasi; menurunnya pengaruh agama; beralihnya fungsi
pendidikan dari keluarga dan komunikasi ke sistem pendidikan formal; munculnya
kebudayaan massa; dan munculnya perekonomian pasar dan industrialisasi.
2. Teori Ketergantungan
Menurut
teori ketergantungan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman negara Amerika
Latin bahwa perkembangan dunia tidak merata; negara-negara industri menduduki
posisi dominan sedangkan negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomi tergantung
padanya. Perkembangan negara-negara industri dan keterbelakangan negara-negara
Dunia Ketiga, menurut teori ini, berjalan bersamaan: di kala negara-negara
industri mengalami perkembangan, maka negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami
kolonialisme, khususnya di Amerika Lain, tidak mengalami ”tinggal landas”
tetapi justru menjadi semakin terkebelakang.
3. Teori Sistem Dunia
Teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein mengatakan bahwa perekonomian kapitalis dunia
tersusun atas tiga jenjang: negara-negara inti, negara-negara semi-periferi,
dan negara-negara periferi. Negara-negara inti terdiri atas negara-negara Eropa
Barat yang sejak abad 16 mengawali proses industrialisasi dan berkembang pesat,
sedangkan negara-negara semi- periferi merupakan negara-negara di Eropa Selatan
yang menjalin hubungan dagang dengan negara-negara inti dan secara ekonomis
tidak berkembang. Negara-negara periferi merupakan kawasan Asia dan Afrika yang
semula merupakan kawasan ekstern karena berada di luar jaringan perdagangan
negara-negara inti tetapi kemudian melalui kolonisasi ditarik ke dalam sistem
dunia. Kini negara-negara inti (yang kemudian mencakup pula Amerika Serikat dan
Jepang) mendominasi sistem dunia sehingga mampu memanfaatkan sumberdaya negara
lain untuk kepentingan mereka sendiri, sedangkan kesenjangan yang berkembang
antara negara-negara inti dengan negara-negara lain sudah sedemikian lebarnya
sehingga tidak mungkin tersusul lagi.
PERUBAHAN SOSIAL DI ASIA TENGGARA
Kemajemukan masyarakat di Asia
Tenggara telah memunculkan berbagai konsep dan teori yang dilandaskan pada
pengalaman khas berbagai masyarakat Asia. Hans-Dieter
Evers menyunting berbagai tulisan dan merangkumnya menjadi konsep dual
societies, plural societies dan involution.
Dual Societies
Menurut Bocke dalam masyarakat Timur, kapitalisme bersifat merusak –
ikatan-ikatan komunis melemah, dan taraf hidup masyarakat menurun – karena
telah mengakibatkan terjadinya ekonomi dualistis. Dalam masyarakat dualistis
dijumpai sejumlah antitesis, yaitu pertentangan antara (1) faktor produksi pada
masyarakat Barat yang bersifat dinamis dan masyarakat pribumi di pedesaan yang
bersifat statis, (2) masyarakat perkotaan (orang Barat) dengan masyarakat
pedesaan (orang Timur), (3) ekonomi uang dan ekonomi barang, (4) sentralisasi
administrasi dan lokalisasi, (5) kehidupan yang didominasi mesin (masyarakat
Barat) dan didominasi kekuatan alam (masyarakat Timur), dan (6) perekonomian
produsen dan perekonomian konsumen.
Menurut Evers, ciri dualistis adalah adanya masyarakat yang terkebelakang
yang hidup berdampingan dengan masyarakat maju.
Plural Societies
Furnivall memberikan contoh pada
masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial
yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur, namun menurutnya kelompok Eropa,
Cina dan pribumi saling melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana
dipisahkan.
Menurut Evers konsep ini bisa dikembangkan dan diuji pada masyarakat lain.
Involution
Menurut Geertz pengaruh kapitalisme Barat terhadap masyarakat pedesaan di
Jawa tidak menghasilkan perubahan secara evolusioner, melainkan suatu proses
yang dinamakan involusi. Penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di
Jawa membawa kemakmuran di Barat tetapi mengakibatkan suatu proses ”tinggal
landas” berupa peningkatan jumlah penduduk pedesaan. Ternyata kelebihan
penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yaitu suatu kerumitan
berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima
bagian dari panen meskipun bagiannya memang menjadi semakin mengecil.
Konsep Geertz ini banyak digunakan oleh ilmuwan sosial lain. Armstrong dan Terry McGee mengaitkan konsep involusi dengan sistem pasar di
daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974) lebih mengaitkan konsep
involusi dengan perubahan struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk
bertambah, namun kurang terjadi diferensiasi sosial.