Laman

Thursday, July 5, 2012

Situs Purbakala Watukandang

Situs Purbakala Watukandang

Situs Purbakala Watukandang merupakan situs bangunan berbentuk pra candi sebelum berkembang. Merupakan peninggalan megalistik berupa kelompok deretan batu berdiri yang tertapa rapi. Situs Watukandang diperkirakan sudah ada sebelum adanya candi-candi megah di Indonesia. Peninggalan ini dikeramatkan oleh masyarakat dan dikenal dengan sebutan Watukandang. terletak di tepi jalan tembus Tawangamngu – Matesih. Yang bisa ditemui di Situs Watukandang antara lain :
  1. Punden Berundak dimana Batu Kadang ini berdiri condong sehingga seperti punden berundak yang biasanya disembah sebagai nenek moyang mereka.
  2. Menhir dimana bentuk dari salah satu dari Watu Kandang yang besar dan berdiri tegak seperti tugu, maka bisa diasumsikan bahwa Watu Kandang bisa jadi sebagai Tugu yang menurut mereka suci, dan sebagai tempat pemujaan roh-roh nenek moyang.
  3. Dolmen dimana Watu Kandang itu membentuk seperti meja di tengah-tengah Watu Kandang yang lainya, maka bisa diperkirakan sebagai tempat meletakkan sesaji kepada roh nenek moyangnya.
  4. Lumbung Batu yang mana Watu Kandang berbentuk besar dan melebar, ditengahnya berbentuk cukung dan dalam. Maka bisa disimpulkan salah sutu Wutu Kandang Juga sebagai tempat pengupasan kulit padi.
  5. Gerabah dimana ditemukan berbagai manik-manik yang terbuat dari tanah liat disekitar Watu Kandang.
  6. Manik juga ditemukan manik-manik kecil yang berbentuk Heksagonal, Tetragonal, Silinder, Cornder.
  7. Kubur Batu yaitu kuburan atau tempat letak jenazah karena bentuk Watu Kandang yang membentuk persegi empat dengan ukuran batu dan jarak batu sama dan teratur membentuk sebagai tempat jenazah.

Situs Purbakala Palanggatan

Situs Purbakala Palanggatan

Planggatan hingga kini masih merupakan situs sejarah yang miskin informasi. Barulah sejak 1979 situs ini menjadi asuhan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng. Pada tahun 1985 BP3 Jateng pernah melakukan penggalian sebanyak dua kali. Dari penggalian ini diketahui bahwa candi yang masih terpndam ini menghadap ke Barat. Entah mengapa, setelah diketahui arah hadap candi, penggalian dihentikan dan batuan candi ditutup kembali.Justru karena diketahui bahwa candi menghadap ke Barat serta adanya relief pada batu yang sudah tampak, disimpulkan bahwa situs ini serupa atau sealiran dengan Candi Sukuh.
Lokasi
Situs Planggatan memiliki total luas 4.460 meter persegi, diapit oleh perkampungan penduduk dan tanah tegalan (perkebunan). Kalau kita berada di lingkungan situs, terasa berada di puncak candi yang berpendar melingkar ke segenap penjuru. Kondisi situs pada saat ini, sebagian besar batu-batunya belum tergali secara utuh. Hanya tampak beberapa batu berelief yang masih setengah terpendam. Berdasarkan informasi, pada awalnya tempat keberadaan situs ini merupakan tanah kas desa/dusun yang ditanami rumput untuk pakan ternak. BP3 Jateng merngupayakan penyertifikatan tanah. Dengan demikian, tanah tempat situs ini sekarang resmi dibawah pengelolaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan hingga kini tidak ada restribusi. Dengan demikian sangat jarang wisatawan yang datang, kalau pun ada merupakan singgahan setelah dari Candi Sukuh.
Relief
Yang tersisa dari Candi Planggatan yang dibangun pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut kini hanyalah sisa-sisa candi berupa sekumpulan batu andesit tersusun berderet membentuk denah berukuran 30 x 30 meter sedangkan bagian tengahnya berupa gundukan tanah setinggi satu meter saja. Dari tinggalan beberapa batu candi yang tersisa ini ada yang mempunyai relief. Relief yang dipahatkan pada sebuah batu sebagai bagian dari sebuah candi biasanya berfungsi sebagai penghias candi belaka atau dapat pula memuat cerita yang sesuai dengan sifat keagamaan candi tersebut.
Tampaknya relief-relief yang tersisa di candi ini dahulunya merupakan rangkaian sebuah cerita tetapi mengingat jumlahnya yang terbatas (hanya 6 lempang) tampaknya cerita yang ingin disampaikan dalam relief tersebut sukar untuk dirangkai. Relief-relief tersebut antara lain relief seorang tokoh laki-laki yang merangkul pinggang tokoh lain (wanita) di bagian muka dan di bagian belakang tokoh terdapat tiga orang pengiring; relief seorang tokoh menunggang kuda sedang di bagian belakang tokoh tersebut ada dua orang pengiring membawa tombak dan pada bagian depan terdapat tiga orang bertubuh pendek; relief rumah panggung dan dua rumah berbentuk pendapa yang di bagian sampingnya terdapat seorang pengawal membawa tombak mengiring seorang tokoh menunggang kuda; relief beberapa orang membawa senjata; relief seorang tokoh menunggang kuda diiringi oleh beberapa wanita dan tiga punakawan.
“Gajah Wiku”
Dari sejumlah relief yang tersisa ini ada satu relief yang cukup menarik dan menjadi petunjuk kuat mengenai pertanggalan candi tersebut. Relief itu adalah relief seekor gajah yang digambarkan secara antropomorfis (setengah hewan-setengah manusia) dalam posisi berdiri dengan belalai ke bawah dan di bagian mulutnya terdapat gambar bulan sabit, seolah-olah gajah tersebut tengah memakan buah sabit. Gajah digambarkan memakai sorban seperti seorang wiku/pendeta. Pada bagian pinggang memakai ikat pinggang yang dibuat dari lipatan kain dan pada bagian pinggang sampai lutut tertutup kain pula. Relief ini merupakan sebuah sengkalan memet yang jika dibaca berbunyi “Gajah wiku mangan wulan” yang jika diartikan menjadi sebuah angka tahun 1378 caka atau sama dengan 1456 Masehi. Penggambaran Gajah Wiku ini sama dengan relief yang ditemukan di Candi Sukuh merupakan bagian dari relief pande besi, hanya saja relief Gajah Wiku di Candi Sukuh digambarkan tengah memakan buntut. Namun nilai sengkalan memetnya mempunyai arti yang sama yakni 1378 caka. Artinya pembangunan kedua candi ini (Planggatan dan Sukuh) mempunyai kurun waktu yang sama.
Pada bagian kanan relief Gajah Wiku ini terdapat pahatan prasasti sebanyak empat baris. Bentuk pahatan huruf prasasti ini juga sama dengan prasasti batu yang ditemukan di Candi Ceto dan Sukuh. Hasil pembacaan Riboet Darmosoetopo, seorang dosen arkeologi Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta menyebutkan.
Sebenarnya sorban yang dipakai gajah bukan menggabarkan wiku (bhikkhu) karena wiku tidak memakai sorban, namun berkepala gundul. Rasanya lebih mengena bila disebut sebagai “gajah begawan”, sebab penggambaran begawan ada yang bersorban sebagaimana digambarkan sebagi Begawan Abiyasa. Pendapat yang lain Situs ini termasuk peninggalan dari Prabu Brawijaya V Raja terakhir Majapahit sebelum moksa. (wafat beserta raganya) Diceritakan bahwa Prabu Brawijaya V atau Prabu Udara berpindah dari kratonnya di Jawa Timur ke Gunung Lawu sebelah Barat (Jawa Tengah – Kab Karanganyar), sebelumnya Brawijaya sempat beristirahat dan membuat singgahan di sekitar Rawa Pening (Kab.Semarang) yg saat ini disebut Candi Dukuh. Kami belum dapat menginformasikan letak Candi Dukuh.

Situs Purbakala Giyanti

Situs Purbakala Giyanti

Monumen Perjanjian Giyanti atau Situs Giyanti terletak di desa Janti kalurahan Jantiharjo Kecamatan Karanganyar Kota. Monumen ini merupakan suatu monument sejarah yang sangat monumental yang menandai pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua , yakni Surakarta dan Jogjakarta ( Kasunanan dan Kasultanan ) pada zaman pemerintahan Pakubuwono III sekitar tahun 1755.
Ditempat inilah tersimpan ingatan kolektif masyarakat Indonesia tentang kelicikan Penjajah Belanda dalam menundukkan para penguasa Jawa melalui politik pecah belah (devide et impera).
Ditempat ini pula terdapat peninggalan arca yang belum sempurna. Komplek Monumen ini berada di lingkungan desa yang teduh Naskah Perjanjian Giyanti 1755. Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini.Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Perundingan pembagian Kerajaan Mataram Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757. Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa (orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani ‘Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapat kanper setujuandari Kumpeni.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746,1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. ”
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
Badai belum berlalu Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena dalam perjanian ini kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tidak turut serta.Mengapa dalam perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa tidak turut serta? Para Pujangga Jawa dan Sejarahwan rupanya enggan untuk menulis persoalan detail sekitar perjanjian ini atau paling tidak generasi muda diberi suatu informasi yang benar sebagai landasan membangun mentalitas bangsa pentingnya persatuan.
Dalam Perjanjian Giyanti ini Pangeran Sambernyawa adalah rivalitas Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa nomer satu di Mataram.Perjanjian Giyanti merupakan persekongkolan untuk menghancurkan pemberontak.Berhubung pemberontak Mangkubumi sudah bertobat dan kembali bersama VOC dan Paku Buwono III bersekutu kembali untuk tujuan yang sama mematahkan dan menumpas pemberontakan.  Pemberontak yang dimaksud dalam persekutuan dengan Perjanjian Giyanti adalah Pangeran Sambernyawa.Sebagai pemimpin pemberontak Pangeran Sambernyawa dinyatakan sebagai musuh bersama.Disini Perjanjian Giyanti terjadi bukannya tanpa sebab.Sebab yang utama adalah “penyeberangan Pangeran Mangkubumi” dari memberontak menjadi sekutu VOC dan Paku Buwono III.
Mengapa dan bagaimana Pangeran Mangkubumi yang telah lari dari Keraton dan menggabungkan diri dengan pemberontak tiba tiba kembali memerangi pemberontak? Dengan Perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi sudah bukan lagi sebagai pejabat bawahan Paku Buwono III melainkan sebagai penguasa yang demi alasan ketenteraman Kerajaan memainkan peran memerangi pemberontak.
Disini rupanya Sejarah ada yang disembunyikan dan ditutup tutupi. Pangeran Mangkubumi yang sebelum Perjanjian Giyanti memusuhi VOC secara tiba tiba berbalik bahu membahu memerangi pemberontak. Apa latar belakang yang mendasari sehingga terjadi persekutuan baru VOC, Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi? Persekutuan Paku Buwono III dengan VOC sudah bukan barang baru lagi karena keduanya bersekutu untuk menumpas pemberontakan. Pangeran Mangkubumi merupakan persoalan tersendiri karena bersama Pangeran Sambernyawa berada dalam posisi memberontak dan memusuhi VOC.
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa tidak kompak dalam menghadapi VOC.Kedua nya berselisih dan puncak perselisihan itu mengemuka dengan menyeberangnya Pangeran Mangkubumi ke pihak lawan ( VOC ).Penyeberangan itu dilakukan karena kekuatan bersenjata Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan yang sangat telak dan Pangeran Mangkubumi tidak ingin kehilangan kekuasaannya atas kekuatan bersenjatanya akibat kalah dengan Pangeran Sambernyawa.VOC melihat bahwa Pangeran Mangkubumi tidak bakalan menyeberang ke pihaknya kalau tidak mengalami kekalahan dalam perselisihan itu.
Dengan bersama sama Kompeni atau VOC maka musuh Pangeran Mangkubumi bukan lagi VOC/kompeni/Belanda melainkan musuhnya adalah Pangeran Sambernyawa sebagai musuh bersama ( VOC/Kompeni/Belanda, Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi).

Situs Watu Gilang

Situs Watu Gilang

Di tapal masuk hutan Krendhowahono, Desa Krendhowahono Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar tempat pundhen untuk menggelar ritual Wilujengan Nagari Mahesa Lawung (menanam sesaji kepala kerbau) ± 400 meter disebelah barat pundhen terdapat sebuah batu yang dikhususkan keberadaannya. Sepintas batu itu tak jauh berbeda dengan batu-batu yang lain, namun batu ini keberadaanya memang terasa dikhususkan. Batu tersebut dinamakan Watu Gilang karena memang bentuk batu yang cenderung datar.
Meski batu tersebut telah diperlakukan khusus ternyata memang belum dikenal dikalangan masyarakat luas. Hal ini karena ritual tahunan (Wilujengan Nagari Mahesa Lawung) yang cukup dikenal luas oleh masyarakat yang menyamarkan keberadaan Watu Gilang. Lalu apa yang menarik dari keberadaan sebuah batu itu ?
Banyak yang tidak menyangka jika batu yang diperlakukan khusus itu ternyata menyimpan sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. Bahkan tidak mustahil apabila Watu Gilang tersebut bisa menguak tentang pertanyaan Bagaimana sikap Keraton Surakarta terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro.
Batu itu diyakini sebagai tempat duduk pada pertemuan Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV dengan Pangeran Diponegoro yang ketika itu sekitar awal abad XVIII, telah memulai berjuang melawan Kompeni Belanda. Sedang Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono IV adalah penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat (1788 – 1820).

Candi Sukuh

Candi Sukuh

Pengantar
Bangsa Indonesia dikenal memiliki kebudayaan dan peninggalan seni budaya yang beragam. Mulai dari seni bangunan, kriya, bahasa, norma kehidupan sosial, adat istiadat dan berbagai seni budaya yang tak terhitung jumlahnya. Kebudayaan dan peninggalan seni budaya tersebut mempunyai nilai yang tinggi dan beberapa diantaranya diakui oleh dunia sebagai warisan budaya asli “heritage of” Indonesia. Seni budaya yang masih banyak dijumpai di Indoensia antara lain bangunan candi, keris, wayang, seni pertunjukan tari tradisional, gamelan, kethoprak kemudian batik, topeng, adat kebiasaan seperti upacara-upacara ritual, dan lainnya.
Candi merupakan peninggalan budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai sejarah yang sangat berharga. Peninggalan candi banyak tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah terbanyak berada di pulau Jawa. Candi Borobudur dan candi Prambanan adalah beberapa candi yang sangat dikenal bahkan sampai ke mancanegara. Tidak hanya candi Borobudur, candi Prambanan dan beberapa candi besar lainnya, namun kita juga memiliki banyak candi yang berukuran lebih kecil dan memiliki ciri khas yang berbeda. Candi Muara Takus di Riau, Biaro Bahal di Sumatera Utara, atau candi Agung di Kalimantan Timur, menunjukkan candi bukan milik Pulau Jawa saja.
Istilah candi digunakan untuk menyebutkan sebuah bangunan yang berasal dari masa klasik sejarah Indonesia, yaitu dari kurun waktu abad ke-5 M hingga ke-16 M. Candi dapat berupa bangunan kuil yang berdiri sendiri atau berkelompok. Dapat pula berupa bangunan berbentuk gapura beratap (Paduraksa) dan tidak beratap (Candi Bentar). Petirtaan yang dilengkapi kolam dan arca pancuran juga kerap disebut candi.
Candi yang berada di daerah lain seperti Sumatera Utara dikenal istilah ”biaro” dan di Jawa Timur istilah ”cungkub”. Namun masyarakat lebih mengenal istilah candi, apa pun jenis bangunan kuno (termasuk reruntuhan) serta di mana pun letak candi berada. Kata ”candi” berasal dari salah satu nama yang diberikan kepada Dewi Durga, yakni permaisuri Dewa Siwa. Dewi Durga disimbolkan sebagai Dewi Maut  yang disebut dengan “candika”.  Istilah candi kemudian digunakan untuk menyebutkan bangunan peninggalan pada jaman Indonesia purba.
Candi merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di Indonesia, seperti Mataram Hindu, Singasari, Majapahit, dan Sriwijaya. Candi Borobudur dan Candi Prambanan (Loro Jonggrang) adalah bukti-bukti kejayaan Kerajaan Mataram dari abad ke-8 hingga ke-11. Candi Singasari, Kidal, dan Jago merupakan sisa-sisa kebesaran Kerajaan Singasari, dari abad ke-11 hingga ke-13. Candi Tikus, Bajangratu, Brahu, dan Wringin Lawang adalah peninggalan Kerajaan Majapahit dari abad ke-13 hingga ke-15. Candi-candi di sekitar Muara Jambi diduga merupakan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11.
Candi-candi di Indonesia umumnya bercirikan agama Budha (terutama aliran Mahayana dan Tantrayana) dan agama Hindu (terutama aliran Siwaisme). Candi bersifat Budha dikenal lewat arca Budha dan bentuk stupa, misalnya Borobudur dan Mendut. Sementara itu, Candi bersifat Hindu mempunyai arca-arca dewa-dewi di dalamnya, misalnya Prambanan dan Dieng. Uniknya, beberapa candi bersifat campuran Siwa-Budha, antara lain Singasari dan Jawi di Jawa Timur.
Candi di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan langgam seninya menjadi tiga bagian. Pertama, langgam Jawa Tengah Utara. Contohnya Candi Gunungwukir, Badut, Dieng, dan Gedongsongo. Kedua, Langgam Jawa Tengah Selatan misalnya Candi Kalasan, Sari, Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan, dan Prambanan. Ketiga, langgam Jawa Timur, termasuk candi-candi di Bali, Sumatera dan Kalimantan. Contohnya Candi Kidal, Jago, Singasari, Jawi, Panataran, Jabung, Muara Takus dan Gunung Tua. Ditilik dari corak dan bentuknya, pada dasarnya candi di Jawa Tengah Utara tidak berbeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan. Hanya candi-candi di Jawa Tengah Selatan lebih mewah dan lebih megah dalam bentuk dan hiasan dibandingkan candi-candi Jawa Tengah Utara. Perbedaan yang nyata terdapat pada candi-candi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Umumnya candi langgam Jawa Tengah berbentuk tambun, atapnya berundak-undak, reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, mengha-dap ke Timur, letak candi di halaman utama, gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara serta berbahan batu andesit. Sementara itu, candi langgam Jawa Timur berbentuk ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada hanya hiasan atasnya diberi kepala kara, reliefnya timbul sedikit, lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di halaman belakang, menghadap ke barat dan berbahan batu bata. Sejumlah arkeolog menamakan gaya seni candi berdasarkan aspek zaman dan periode, yaitu gaya Mataram Kuno (abad VIII-X), gaya Singasari (abad XII-XIV), dan gaya Majapahit (abad XIII-XV).
Dahulu candi di Indonesia digunakan sebagai pemujaan terhadap nenek moyang (makam). Ada beberapa candi yang berfungsi sebagai stupa (candi Borobudur), sebagai wihara (candi Sari), sebagai istana (candi Boko), sebagai petirtaan / pemandian (taman sari) dan sebagai gapura (candi Bajang Ratu). Penggunaan candi sebagai tempat pemujaan dilakukan masyarakat (Jawa-bahkan hingga sekarang) karena dianggap roh nenek moyangnya akan pergi menuju ke Yang Kuasa. Mahameru (gunung) dianggap sebagai tempat yang tinggi makna simboliknya, yakni makna-makna sakral, lebih dekat dengan Yang Kuasa dan kekuasaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu candi-candi di Indonesia banyak yang “bersandar” di gunung yakni didirikan di tempat dataran yang tinggi, lereng atau area sekitar gunung-gunung. Lokasi candi yang berada di gunung ini membuat lokasi candi biasanya berada di luar pusat-pusat kerajaan kuno di Indonesia.
Pendirian candi-candi yang ada di Indonesia mempunyai maksud, fungsi dan tujuan. Setiap candi biasanya memiliki relief yang merupakan cerita, tuntunan nilai-nilai yang tinggi dari pendirinya, dari cerita Ramayana, Mahabarata hingga relief-relief yang melukiskan kejayaan suatu kerajaan. Setiap candi mempunyai ciri dan keunikan tersendiri, salah satunya adalah candi Sukuh. Situs candi ini sangat unik, baik dilihat dari bentuk candi secara umum maupun dari relef-relief yang dipahat di dalamnya.  Menurut sejarah, Candi Sukuh dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana.. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpaham Hindu. Pada waktu itu para pengikut setia Kerajaan Majapahit yang runtuh diserang Kerajaan Demak (berpaham Islam) melarikan diri ke lereng Gunung Lawu, kemudian membangun candi ini.
Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, pada waktu itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim.
Profil Candi sukuh
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggi-an kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Kurang lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi Cetho.  Untuk menuju lokasi ini kita dapat mengikuti jalan luar propinsi yang menuju kearah objek wisata Tawang Mangu, bahkan jika terus naik kita dapat menjumpai objek wisata Waduk Sarangan yang berada di wilayah  Kabupaten Magetan Jawa Timur.  Di sekitar candi sukuh juga terdapat sebuah makam mantan Ibu Negara yakni makam Kalitan tempat disemayamkan Ibu Tien Soeharto. Jalan untuk mencapai lokasi candi Sukuh mempunyai medan yang cukup terjal karena berada di atas sebuah bukit. Namun sekarang jalan menuju ke candi sudah diaspal cukup nyaman meskipun harus hati-hati karena terkadang ada kabut tebal yang mengurangi pandangan depan dan membuat jalan aspal semakin licin.
Bangunan candi Sukuh memiliki ciri khas bentuk yang relatife sederhana dibandingkan dengan candi lain. Hiasan candi dan relief yang ada di candi Sukuh hanya sedikit dan tidak terlalu dekoratif . Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bahkan bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Bentuk candi ini yang berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi lain di Indonesia. Struktur ini juga mirip dengan bentuk piramida di Mesir. Candi ini juga tergolong kontroversial karena adanya objek-objek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.
Kesan kesederhanaan bentuk candi ini menurut arkeolog Belanda W.F. Stutterheim (tahun 1930) ada tiga argumen: pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton, kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi, atau ketiga bahwa keadaan politik pada waktu itu menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Gapura Pertama dengan bentuk arsitektur yang khas,disusun agak miring berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Berbagai relief tampak dilukiskan di beberapa sudut candi, beberapa ornamen sakral seperti Lingga-Yoni digambarkan secara realistis mirip sekali dengan genital pria dalam kehidupan kita sehari-hari. Beberapa kalangan menyebut candi ini disebut candi porno, padahal pada zaman dahulu mungkin kaum awam tidak mudah masuk kedalam candi ini karena kesakralannya yang tinggi.
Teras Pertama
Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), teras yang posisinya makin ke belakang terletak di dataran yang makin tinggi. Pada teras pertama terdapat pintu gerbang (gapura) utama. Bentuk gapuranya amat unik yakni dibuat miring seperti trapezium, layaknya pylon (gapura pintu masuk ke tempat suci) di Mesir. Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong “ (gapura raksasa memakan manusia ). Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakternya 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus (penis) berhadapan dengan vagina dengan di kelilingi oleh kalungan sperma. Sepintas relief ini mempunyai kesan porno, namun relief ini mengandung makna yang mendalam, lingga-yoni ini merupakan lambang kesuburan.
Lingga yoni berbentuk alat kelamin pria dan wanita serta berkalung untaian sprema
gambar.
Relief tersebut di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. Relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu “.Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu ( laki-laki ) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka.
Teras kedua
Gapura yang terletak di teras kedua kondisinya telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak memiliki atap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor. Relief ini terdapat sebuah candrasangkala pula yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jika angka tahun ini benar menunjukkan pembangunan gapura ini, maka ada selisih hampir duapuluh tahun antara gapura di teras kedua ini dengan gapura di teras pertama.
Trap kedua ini lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Terdapat  jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief yang menggambarkan peristiwa sosial yang menonjol di masyarakat sekitar pada saat pembangunan Candi Sukuh, relief ini disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita terdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan” ( peralatan mengisi udara pada pande besi). Pande besi adalah pengrajin yang membuat peralatan untuk menunjang kehidupan, seperti alat-alat pertanian, alat rumah tangga dan lain-lain.
Bangunan utama candi Sukuh, bentuknya seperti bentuk Pyramid
Teras ketiga
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Apabila ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian, sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, memang dibuat untuk menguji keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Relief pada sebelah  utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga ini trap tertinggi yang merupakan trap paling suci. Tepat di bagian tengah candi utama terdapat sebuah bujur sangkar yang merupakan tempat menaruh sesajian, untuk membakar kemenyan, dupa dan hio.
Dengan struktur bangunan seperti ini, candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala (suda artinya: bersih, mala berarti: dosa) sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang menda-pat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula, yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala. Sehingga cerita Sudamala ini kemudian disebutkan dalam sebuah buku / kidung, yakni Kidung Sudamala. Urutan relief dalam fragmen Sudamala adalah sebagai berikut:
Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Keduanya adalah putra Prabu Pandu dari istrinya yang kedua, Dewi Madrim. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu, yaitu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan. Relief ini menggambarkan ketika Dewi Kunthi meminta pada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun Sadewa menolak.
Relief kedua.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalanjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalanjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.
Relief  ketiga
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawan-nya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Atas perintah Batari Durga yang telah dibebaskannya, Sadewa harus mengawini anak seorang pendeta buta. Pertapa buta itu pun disembuhkannya dari kebutaan.
Relief keempat
menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” Sang Durga. Sadewa kemudian diperintah pergi kepertapaan Prangalas, di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa. Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Dewi Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.
Relief kelima
Relief ini melukiskan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pancanakanya.
Beberapa bangunan di sekitar candi utama
Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang didalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Di lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti yang menandai tahun saka 1363. Cerita ikwal Garudeya adalah sebagai berikut: Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama Dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena telah kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berwujud ular naga yang berjumlah seribu yang menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat diruwat Sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para Dewa.
Altar berbentuk kura-kura
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di dekat candi kecil terdapat kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar Gunung Mahameru, ini berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta perwita sari). Bentuk kura-kura ini menyerupai meja yang kemungkinan didesain sebagai tempat menaruh untuk sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta (kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta).
Bangunan Dan Patung Lainnya
Salah satu prasasti di kompleks candi Suku.Di komplek candi induk terdapat sebuah prasasti yang menyiratkan bahwa candi Sukuh dalam candi untuk Pengruwatan, yakni prasasti yang diukir dipunggung relief sapi. Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit: “Goh wiku anahut buntut” maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada dipunggung sapi yang artinya  kurang lebih demikian: untuk diingat-ingat ketika bersujud di kahyangan (puncak gunung), terlebih dulu agar datang di pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama dengan ruwatan disini yaitu kata: “pawitra” yang artinya pemandian suci. Karena di kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk pengruwatan, seperti yang sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan.
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah untuk sarana transportasi. Bentuk bangunan lain adalah relief tapal kuda yang menggambarkan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengah bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala.
Keberadaan Candi Sukuh
Bentuk candi Sukuh secara umum lebar bagian bawah candi kemudian meruncing ke atas seperti gunung, meskipun secara spesifik bentuk candi Sukuh ini tergolong unik dibandingkan dengan candi-candi lain di Jawa (Tengah). Sesuai dengan kepercayaan masyarakat pada waktu itu bahwa gunung merupakan tempat yang memiliki unsur kekuatan dan kesakralan, maka candi ini dibangun di sebuah lereng gunung Lawu. Kondisi ini memberikan pandangan bahwa bangunan candi ini didirikan di luar pusat pemerintahan atau pusat kerajaan yang mendirikannya, karena biasanya pusat-pusat kekuasaan kerajaan jaman dulu berada di dataran yang rata dan tidak berbukit seperti Kraton Jogja, Solo, dan lainnya.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa sejarah berdirinya situs candi Sukuh ini pada awal abad 15. Menurut sejarah pula, candi Sukuh didirikan oleh para pelarian Kerajaan Majapahit yang kalah perang melawan Kerajaan Demak dalam proses penyebaran agama Islam di Jawa. Kerajaan Hindu Majapahit mengalami puncak kejayaannya pada tahun 1350–1389. Puncak kejayaan Majapa-hit ini dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada yang menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan hingga Jazirah Malaka sesuai dengan “Sumpah Palapa” Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu. Kemudian Islam mulai masuk ke Jawa dengan membawa pengaruh dan perkembangan yang sangat pesat. Apabila sejarah ini benar, maka lokasi situs candi yang didirikan oleh pengikut Majapahit ini berada sangat jauh dari pusat kerajaan Majapahit. Pusat kerajaan Majapahit berada di Jawa Timur sedangkan lokasi candi Sukuh masuk ke wilayah Jawa Tengah (meskipun dalam wilayah perbatasan Jateng dan Jatim).
Lokasi candi Sukuh saat ini berada di dalam wilayah Karesidenan Surakarta. Sejarah berdirinya karesidenan Surakarta sendiri mempunyai rentang waktu yang cukup lama dengan berdirinya candi Sukuh. Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri sebagai suatu kerajaan pecahan dari Kesultanan Mataram (Islam) pada 13 Februari 1755, yaitu sebagai akibat dari ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Pemerintah Hindia Belanda dalam perjanjian tersebut juga mengakui Sunan Pakubuwana III sebagai raja yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Di awal masa kemerdekaan (1945-1946), bersama Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan Surakarta, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa candi Sukuh bukan produk dari Kasunanan Surakarta, karena usia candi Sukuh keberadaannya lebih dulu daripada Kasunanan Surakarta. Candi Sukuh juga bukan merupakan produk dari Kesultanan Mataram, karena Kesultanan Mataram menganut paham Islam yang mentabukan keberadaan candi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa candi Sukuh kemungkinan bukan produk sebuah kerajaan tertentu sehingga tidak berada di sebuah pusat pemerintahan atau pusat kerajaan.
Keberadaan candi Sukuh yang berlokasi di tempat yang jauh dari pusat kerajaan serta relief yang dipahat kurang indah dibandingkan dengan candi-candi lain di Indonesia, menunjukkan bahwa candi ini dibuat oleh orang-orang yang kurang memahami atau memiliki kemampuan skill dan pengetahuan tentang pembuatan candi pada waktu itu. Bentuk candi yang sederhana dan terlihat lain dibandingkan dengan candi lain diperkirakan dipahat oleh orang yang tidak menguasai teknik pahat batu atau bahkan dipahat oleh tukang kayu atau tukang pande besi, karena disana juga ditemukan relief kegiatan pande yakni membuat peralatan atau kerajinan dari besi.
Lokasi candi yang berada di sebuah lereng gunung Lawu ini juga menunjukkan bahwa penentuan tempat ini seadanya tanpa memperhitungkan kondisi yang lebih strategis. Pemilihan lokasi candi yang jauh di lereng gunung tersebut “candi ndeso” kemungkinan merupakan tempat yang aman bagi para pelarian orang Majapahit yang kalah perang oleh pasukan Islam Demak. Pelarian yang kalah dalam suatu pertempuran tentunya mencari tempat persembunyian yang aman dan jauh dari pusat keramaian, maka dengan lokasi candi Sukuh yang pada waktu dulu mungkin tempatnya sangat sulit untuk dijangkau oleh lain.
Penutup
Candi Sukuh merupakan candi yang digunakan sebagai sarana peribadahan umat Hindu pada waktu itu. Meskipun adanya relief penis dan vagina yang terkesan porno, namun tentunya memiliki simbol dan makna tertentu karena candi ini digunakan sebagai tempat beribadah. Relief lingga yoni di gapura terdepan dan bagian atas candi induk di candi Sukuh juga merupakan lambang ucapan syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan yang mereka peroleh. Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur. Candi tersebut merupakan bangunan suci agama Syiwa, yang di Indonesia berbentuk lingga dan digambarkan secara realistis sebagai alat kelamin laki-laki. Kenyataan lainnya adalah adanya ruang pemujaan di candi utama yang digunakan untuk bersembahyang.
Keberadaan Candi Sukuh merupakan tempat peribadahan yang suci dan menjadi saksi atas ketaatan sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan peribadahan. Pendirian peninggalan ini tentunya mempunyai makna dan maksud berupa ajaran hidup bagi umat dan masyarakatnya, tentunya hal ini merupakan salah satu nilai penting yang perlu kita gali dan kita terjemahkan dalam hidup kita sesuai dengan keyakinan kita. Kessederhanaan candi Sukuh adalah salah satu wujud karya nenek moyang yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan untuk tidak turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan didalamnya.
Candi Sukuh pada jamannya juga merupakan tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ruwatan). Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara pengruwatan yakni: (a) Relief Lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. (b) Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” Sang Durga. (c) Relief Garideya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama Dewi Winata. (d) Prasasti tahun 1379 Saka dipunggung sapi yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air pengruwatan).
Sumber : http://noenkcahyana.blogspot.com/2010/10/candi-sukuh.html